PENDIDIKAN MINUS KEKERASAN


Kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum guru terhadap murid yang terjadi beberapa waktu lalu seakan menambahkan panjang daftar permasalahan yang menghinggapi dunia pendidikan kita. Guru yang merupakan ujung tombak keberhasilan proses pendidikan di sekolah sekaligus tokoh yang digugu dan ditiru, telah menampakkan perilaku kurang terpuji dengan melakukan tindakan brutal dengan dalih “pendisiplinan”.
Tindakan kasar yang menjurus pada kekerasan bukanlah cara yang bijak untuk mendisiplinkan peserta didik. Sebagai manusia yang masih bertumbuh kembang, para siswa lebih membutuhkan sentuhan manusiawi yang penuh kasih sayang dalam rangka pembentukan kepribadian. Tindak kekerasan hanya akan membuat mereka mengalami trauma psikologis sampai gangguan mental. Tidak mustahil dikemudian hari mereka juga akan melakukan tindak kekerasan dalam mencapai tujuan-tujuannya. Kalau sudah begini, semua fihaklah yang akan dirugikan.
Selain guru terhadap murid, tindak kekerasan juga dilakoni oleh oknum mahasiswa yang notabene kaum intelektual kampus. Kalau dulu, tawuran didominasi oleh para pelajar. Sekarang, para agent of change ini ikut ketularan. Hanya karena hal sepele, mereka tidak mampu mengendalikan emosi. Kasus penyerangan antar mahasiswa yang terjadi di Makassar telah mengakibatkan beberapa diantara mereka terluka parah.
Demonstrasi dalam menyuarakan aspirasi rakyat, sesuatu yang sebenarnya sangat positif, juga sering berubah anarkis. Selain berakibat pada rusaknya berbagai fasilitas umum, aksi-aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh mahasiswa sering mengganggu pengguna jalan dan masyarakat sekitar. Alhasil, bukannya simpati yang didapatkan. Apa yang mereka lakukan malah dikecam oleh masyarakat.
Berbagai kasus kekerasan di atas mungkin telah membuat kita bertanya-tanya; apa yang salah dengan pendidikan kita. Kenapa para guru sering tidak sabaran dengan perilaku para anak didiknya? Atau mahasiswa yang cenderung memakai jalan pintas dalam menyelesaikan berbagai persoalan yang dihadapinya?.Tentu bukanlah hal yang bijak ketika kita menimpakan kesalahan hanya pada satu fihak. Bagaimanapun, persoalan kekerasan dalam dunia pendidikan adalah masalah bersama yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Transformasi sosiokultural yang terjadi selama beberapa dekade terakhir ini telah berimbas pada sikap dan perilaku kaum remaja yang notabene sebagian besar adalah pelajar. Perkembangan jiwa yang masih labil membuat mereka mudah terpengaruh hal-hal yang negarif. Disinilah, kita sering menemukan pelajar yang bandel, nakal, bahkan “liar”. Dalam kondisi ini, terlampau berat tugas yang harus diemban oleh para guru kalau proses pendidikan dalam rangka pembentukan kepribadian diserahkan sepenuhnya kepada mereka.
Karena itulah, para orang tua harus memberikan pengawasan yang cukup dan berimbang. Keluarga menjadi pilar pertama dalam membentengi anak dari informasi yang merusak. Para anak harus mendapatkan kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari kedua orang tua. Jangan hanya karena materi, pendidikan dalam keluarga ini jadi terabaikan. Masyarakat sekitar juga harus melakukan kontrol terhadap budaya destruktif yang saat ini gencar mengepung para pelajar kita.
Sebagai regulator, pemerintah sebaiknya membuat undang-undang/peraturan yang jelas dan tegas terhadap anasir-anasir yang tidak mendukung upaya pendidikan bagi para pelajar. Tayangan televisi yang didominasi oleh hiburan murahan macam sinetron, gosip, talkshow, dsb, agar segera ditertibkan. Banyak penelitian yang menggambarkan pengaruh negatif televisi terhadap remaja.
Sementara itu, kurikulum pendidikan yang ada selama ini telah berandil dalam membentuk jiwa materialisme dan individualisme bagi peserta didik. Aspel moral dan spiritual semakin tergerus karena ruh dari kurikulum kita adalah sekulerisme kapitalisme. Alhasil, aspek kurikulum juga perlu mendapat sorotan.