MENYOAL PRAGMATISME PARPOL


Meski dilaksanakan pertengahan tahun depan, euforia Pemilu 2009 sudah terasa sejak jauh-jauh hari. Masa kampanye yang begitu panjang ternyata dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya oleh para kontestan dengan melakukan berbagai manuver demi merebut hati konstituen. Untuk keperluan itu, dana besar pun digelontorkan. Bahkan salah satu parpol baru merogoh kocek 50 milyar lebih hanya untuk keperluan iklan di televisi. Dengan jargon klise dan janji-janji indah khas parpol, mereka menawarkan perubahan kearah yang lebih baik dan berusaha mati-matian mencitrakan diri sebagai pembela sejati wong cilik.
Sebagai pemain lama, partai-partai besar juga tidak mau kalah. Dengan kemampuan finansial serta SDM yang ada, semua upaya dikerahkan untuk mencapai target perolehan suara.
Selain via iklan di media konvensional, berbagai parpol saat ini begitu rajin “beramal”. Mereka dengan gencar mengadakan pasar murah, bakti sosial seperti donor darah massal dan sunatan massal, bagi-bagi sembako, pengasapan massal (foging) di kawasan demam berdarah, bersih-bersih lingkungan, pembagian jenset, sampai aksi-aksi yang mengarah kepada money politic. Memang, apa yang dilakukan berbagai parpol tersebut sangat bermanfaat bagi masyarakat, lebih-lebih di zaman serba sulit seperti saat ini. Di tengah impotentnya peran pemerintah dalam memenuhi hajat hidup mereka, berbagai aksi sosial ini laksana oase di tengah hamparan padang pasir yang gersang.
Tapi siapapun yang masih berakal sehat, akan sulit menerima bahwa apa yang mereka lakukan sungguh-sungguh ikhlas demi rakyat. Pertanyaan sederhana, mengapa itu dilakukan menjelang masa-masa pemilihan? Bukankah mereka mengetahui bahwa selama ini (terutama pasca reformasi) kondisi kehidupan wong cilik belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan yang signifikan?. Angka kemiskinan terus bertambah, pengangguran meningkat tajam, harga berbagai kebutuhan pokok pun meroket.
Lantas, apa wujud kepedulian konkrit mereka terhadap jeritan rakyat? Apa yang dilakukan oleh parpol di parlemen ketika pemerintah menaikkan harga BBM? Menyedihkan, rakyat hanya menyaksikan akrobat politik murahan dari para elit dengan mengusulkan hak angket. Hanya segelintir dari mereka yang benar-benar berjuang untuk kepentingan rakyat.
Para parpol itu juga diam seribu bahasa ketika pemerintah negeri ini menelurkan berbagai undang-undang yang proliberal dengan menginjak-injak hak seluruh warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Bukanlah hal yang aneh ketika ada fihak yang mengatakan bahwa parpol di parlemen sekedar tukang stempel bagi kebijakan eksekutif.
Tokoh-tokoh parpol, baik yang duduk dipemerintahan maupun yang mendeklerasikan dirinya sebagai kaum oposan, sekarang ramai-ramai turun gunung. Bejibun agenda diprogramkan untuk mendongkrak popularitas dan simpati. Silaturrahmi politik semakin intens dilakukan. Tidak lupa, sowan keberbagai tokoh yang menjadi figur masyarakat. Entah kenapa, kini mereka bermetamorfosis menjadi seorang yang murah senyum dan senang melambaik-lambaikan tangan.
Mereka juga begitu mudah menebarkan mimpi-mimpi manis yang kadang membius dan kurang berhitung terhadap situasi dan kondisi yang ada. Bahkan Sosiolog UI, Kastorius Sinaga menilai bahwa iklan sembako dari salah satu parpol besar sekedar isapan jempol belaka. Bukanlah hal yang mudah menurunkan harga sembako ditengah arus liberalisasi dan pasar bebas saat ini. Apalagi dengan embel-embel penetapan waktu (misalnya seratus hari). Alhasil, masyarakat harus jeli dalam menentukan pilihan politiknya.
Apapun bisa terjadi dalam kehidupan politik pragmatis seperti saat ini. Yang dulunya begitu getol dalam berkompetisi, ternyata hari ini melakukan kolaborasi. Untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan, parpol kelihatannya begitu mudah dalam melakukan koalisi. Dikatakan begitu mudah karena mereka tidak segan-segan menggadaikan idealisme demi target politik jangka pendek. Memang, ketika kepentingan manjadi “tuhan”, apapun sah-sah saja dilakukan. Bahkan sering tanpa memperhatikan fatsun (tatakrama) politik. Alhasil, parpol kehilangan orientasi perjuangannya dan secara tidak langsung mengkhianati konstituen yang memilihnya.
Publik juga dibuat geram oleh tingkah para elit parpol yang sering ingkar janji. Bahkan tanpa rasa malu menjadi “perampok” uang rakyat dengan berbagai tunjangan dan fasilitas serba lux. Rencana kenaikan tunjangan komunikasi sebesar 200 persen lebih bagi anggota Dewan merupakan salah satu kekonyolan yang secara vulgar dipertontonkan oleh para wakil rakyat. Buntutnya, beberapa survey memperlihatkan bagaimana apatisme masyarakat terhadap parpol berikut para elit-elitnya. Bukti kekecewaan masyarakat terhadap parpol adalah dengan semakin besarnya angka golput dalam beberapa kontestasi pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Parpol Ideal
Seyogyanya parpol tidak terjebak dengan berbagai kepentingan politik jangka pendek, semisal meraih kursi atau mendudukkan kadernya di posisi-posisi strategis. Sebab kekuasaan bukanlah tujuan. Kekuasaan semestinya dipandang sebagai amanah dan menjadi sarana untuk mencapai cita-cita parpol dengan terwujudnya masyarakat sejahtera lahir dan bathin.
Pola pengkaderan harus bersifat ideologis. Artinya orang-orang yang bergabung didalamnya telah memiliki kesadaran yang sempurna akan visi dan misi partai dalam mendidik masyarakat dan memperjuangkan nasib mereka. Pemikiran inilah yang menjadi perekat, bukan yang lain. Dengan begitu, parpol akan menjadi “produsen” para politisi sejati yang peka akan penderitaan rakyat.
Selain itu, parpol ideal sejatinya memiliki seperangkat konsep yang bersifat solutif sekaligus komprehensif untuk memecahkan berbagai masalah aktual. Mereka tidak terpaku dengan solusi konvensional dan tambal sulam yang sering ditawarkan oleh parpol saat ini.