PENANGGULANGAN IDEOLOGIS TERHADAP KORUPSI


Terungkapnya berbagai kasus korupsi akhir-akhir ini merupakan konsekuensi logis dari diadopsinya idelogi kapitalisme dalam kehidupan bangsa kita. Kesalahan paradigma dalam memandang jabatan, kekuasaan, dan lebih jauh lagi terhadap orientasi kehidupan menjadi raison d’etre merebaknya berbagai tindak kejahatan kerah putih yang dilakukan oleh aparatur pemerintahan. Lord Acton pernah mengatakan “The power tends to corrupt, absolute power is corrupt absolutely”. Maknanya, adanya kekuasaan memunculkan potensi penyimpangan. Semakin besar kekuasaan, semakin kuat kecenderungan dari penguasa untuk melakukan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).
Sebagaimana sudah dimaklumi, korupsi merupakan tindakan illegal untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain (biasanya keluarga dekat) dengan memanfaatkan fasilitas yang diberikan oleh negara. Dalam beberapa kasus korupsi yang terjadi, para pelaku sebenarnya sudah memiliki income dan fasilitas yang cukup. Bahkan, untuk ukuran mayoritas masyarakat, apa yang didapatkan oleh mereka sudah tergolong lux alias mewah. Analisis sederhana menyimpulkan bahwa orang-orang yang sudah berkecukupan tidak akan melakukan tindak korupsi karena kebutuhan dasar juga keperluan pelengkap lainnya telah terpenuhi. Hal ini berbeda dengan tindak kriminal jalanan (street crime) yang banyak disebabkan oleh faktor kebutuhan dasar yang tidak bisa didapatkan dengan cara “normal”.
Tapi, fakta memperlihatkan bahwa tingkat kemakmuran tidak selalu berkorelasi positif terhadap prilaku para aparatur negara. Kejahatan kerah putih seperti korupsi ini ternyata masih banyak dilakukan bahkan diseluruh elemen pemerintahan baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Dengan adanya otonomi daerah, kasus korupsi juga semakin berdiaspora (menyebar) dan tidak sedikit pejabat daerah yang meringkuk di sel karena terlibat kasus korupsi. Alhasil, peningkatan income (baca:gaji) bagi para aparatur yang banyak diwacanakan oleh berbagai fihak sebenarnya masih belum menyentuh akar permasalahan.
Seharusnya orang-orang yang mengisi jabatan publik atau aparat pemerintah memiliki pola pikir dan pola sikap yang didasarkan pada landasan ilahiyah (nilai ruhani). Ini terjadi ketika seseorang memiliki keimanan yang kuat serta memiliki orientasi yang jelas dalam kehidupannya. Perasaan diawasi dan keyakinan akan adanya tanggungjawab horizontal sekaligus vertikal mengharuskanya agar profesional dalam bertindak dan amanah dalam bersikap. Profesionalisme terkait dengan kinerja yang mestinya dilakukan oleh seorang aparatur, yaitu sebagai pelayan masyarakat serta merumuskan kebijakan yang pro rakyat. Sikap amanah akan menjaganya dari perbuatan menyimpang atau memanfaatkan berbagai fasilitas yang diberikan demi kepentingan pribadi atau keluarga. Dengan keyakinana seperti inilah seseorang tidak akan mudah terbelokkan oleh iming-iming materi dalam menjalankan aktifitas pemerintahan.
Bahaya yang besar dari tindak pidana korupsi telah disadari oleh semua fihak. Berbagai upaya pun dilakukan. Misalnya, membuat kurikulum antikorupsi di sekolah-sekolah, melakukan kampanye secara massif terhadap masyarakat agar korupsi menjadi musuh bersama, sampai mendirikan kantin kejujuran. Sungguh, ini merupakan perkara yang harus mendapatkan apresiasi dari kita semua. Bagaimanapun, korupsi telah merusak sendir-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Bahkan korupsi telah digolongkan sebagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan.
Agar lebih efektif, maka penanggulangan tindak pidana korupsi ini mesti juga bersifat sistemik. Karena banyak fakta yang menunjukkan bahwa korupsi lahir dari mekanisme sistem bernegara yang opurtunistik. Selain lemahnya keimanan individual, sistem yang ada memberikan peluang besar bagi aparat untuk melakukan korupsi. Komitmen pengawasan yang masih lemah, sanksi yang samasekali tidak menakutkan bagi koruptor, sampai “mahalnya” ongkos yang harus dikeluarkan untuk menjadi seorang aparatur negara/pemerintahan.
Untuk itulah, perombakan sistemik adalah langkah yang tidak bisa ditunda-tunda lagi dalam penanganan tindak pidana korupsi. Kalau kita tengok bagaimana seorang Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang mematikan lampu ketika sang anak masuk kamarnya untuk membicarakan masalah keluarga. Atau, kebersahajaan seorang Khalifah Ali bin Abi Thalib juga Umar bin Khattab dalam berpakaian sehingga nyaris tidak ada beda dengan rakyat yang dipimpinnya. Selain keimanan yang begitu sempurna, mereka juga berada dalam sebuah bingkai kehidupan (baca:sistem) yang kondusif untuk menjalankan sebuah pemerintahan yang memungkinkan mereka steril dari beragam penyimpangan.

Dipublikasikan Pada Harian Banjarmasin Post, Edisi 19 Desember 2008