MENGURAI AKAR MASALAH KERUSAKAN LINGKUNGAN


Tidak dapat dipungkiri setelah Perang Dunia II, negara-negara yang terlibat dalam peperangan mengalami kerugian besar akibat tingginya biaya perang ketika itu. Untuk dapat memulihkan kondisi ekonomi negaranya, maka negara-negara tersebut mulai melakukan konsolidasi, dimana kemudian terjadilah perubahan dalam hubungan antar negara-negara di dunia. Perubahan tersebut terjadi dibidang sosial, ekonomi dan politik.
Negara-negara Barat menyadari bahwa tidak mungkin lagi melakukan dominasinya dengan melakukan penjajahan fisik karena kerugian pasca Perang Dunia II, sehingga penjajahan non-fisiklah yang kemudian dipandang sebagai langkah yang efektif.
Dengan adanya konsolidasi tersebut dunia internasional pun kemudian terbagi menjadi dua blok: Blok Barat yang mewakili paham Kapitalisme dan Blok Timur mewakili paham Sosialisme. Dimana Amerika Serikat (AS) sebagai simbol utama Blok Barat dan Uni Soviet sebagai simbol utama Blok Timur.
Hal ini juga dibarengi dengan bangkitnya negara-negara bekas jajahan Eropa dan AS yang dipandang sebagai ancaman bagi eksistensi paham kapitalisme, karena banyak diantara negara-negara yang baru merdeka tersebut lebih tertarik dengan paham sosialisme, termasuk di Indonesia yang pada era Presiden Soekarno memperkenalkan ide Nasakom, yang memicu kekhawatiran dari negara-negara Barat.
Perang Dingin (The Cold War) pun kemudian muncul, AS dan negara-negara Eropa Barat mendorong ilmuwan sosial mereka untuk mengembangkan berbagai teori-teori sosial yang dapat diaplikasikan ke negara-negara berkembang dan baru merdeka tersebut. Berbagai lembaga dunia pun kemudian didirikan, di bidang ekonomi kita tentu tidak asing dengan World Bank dan IMF yang pada hakekatnya dengan berbagai macam bantuan pinjaman disertai perangkat kebijakannya berusaha untuk mengendalikan negara-negara bekas jajahannya tersebut.
Seiring berjalannya waktu Uni Soviet pun mulai mengalami berbagai kekalahan demi kekalahan, Blok Barat pun muncul sebagai kampium dan mendeklarasikan kemenangannya, sebagaimana pernyataan Presiden AS Ronald Reagan “Saya telah memenangkan perang bintang”.
Wajarlah kiranya Prof FX Adji Samekto seorang pakar hukum Internasional dan lingkungan dalam bukunya Kapitalisme, Modernisasi dan Kerusakan Lingkungan menyatakan bahwa penerapan teori-teori sosial seperti teori modernisasi dalam kebijakan di negara-negara berkembang (Dunia Ketiga) menyebabkan terbukanya peluang bagi negara-negara kapitalis untuk mengembangkan usahanya di negara berkembang melalui perusahaan-perusahaan multinasional. Dalam operasinya, perusahaan-perusahaan ini kemudian melakukan eksploitasi sumber daya alam di negara-negara tersebut. Hal ini sebetulnya merugikan negara-negara Dunia Ketiga (termasuk Indonesia) karena yang terjadi kemudian adalah kerusakan lingkungan.
Hal senada juga dikemukakan oleh Menteri Kehutanan MS Kaban, “Sebanyak 80 persen kerusakan hutan di Indonesia disebabkan adanya industri besar-besaran di Amerika”. Mengomentari tudingan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa perusak hutan, padahal negara-negara majulah yang sebagian besar melakukannya. Memang dari sinilah terlihat karakter dari negara-negara kapitalis dimana demi meraih keuntungan yang besar siapa pun bisa dikorbankan, dalam hal ini tentu saja negara-negara dunia ketiga, sebagai korban dari negara kapitalis tersebut.
Benarlah pernyataan Karl Mark seorang pemikir dari Jerman yang melihat fakta dominasi kapitalisme ketika itu menyatakan bahwa kapitalisme adalah sistem ekonomi yang hanya mengakui satu hukum, hukum tawar-menawar di pasar. Dengan demikian kapitalisme menurut Mark, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang bebas, yaitu bebas dari pembatasan penguasa, bebas dari pembatasan produksi dimana yang menentukan dalam kapitalisme adalah keuntungan yang lebih besar. Dari segi output perbedaan kapitalisme dari sistem-sistem produksi yang lain adalah bahwa nilai yang ingin dihasilkan oleh peserta pasar adalah nilai tukar bukan nilai pakai. Maksudnya orang memproduksi atau membeli sesuatu bukan karena ia mau menggunakan, melainkan karena ia ingin menjualnya lagi dengan keuntungan setinggi mungkin. Makin banyak keuntunganya makin kuat kedudukannya di pasar.
Belum lagi ditambah dengan adanya kecenderungan masyarakat yang mudah menjadikan paham kapitalisme tersebut sebagai kiblat pandangan hidupnya dan kemudian diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Sehingga tepatlah kiranya jika hari menanam pohon yang dicanangkan oleh Pemerintah awal Desember ini sebagai momentum untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya hutan bagi kelangsungan hidup masyarakat dan sebagai salah satu upaya praktis untuk mencegah kerusakan lingkungan yang semakin merebak.
Hal ini tentu tidak cukup, tapi perlu diimbangi dengan perubahan pola pikir masyarakat dari pola pikir yang destruktif atau kapitalistik tersebut menjadi pola pikir yang lebih mengedepankan kepentingan rakyat banyak.
Dan tidak lupa, tanpa adanya dukungan semua kompenen masyarakat dalam menumbuhkan kesadaran berwawasan lingkungan termasuk Pemerintah Daerah (Pemda). Terlebih dengan adanya otonomi daerah sebenarnya Pemda diberikan kewenangan yang cukup besar untuk mengatur daerahnya termasuk dalam hal penghijauan di daerahnya.
Seperti di kota Banjarmasin sudah mulai dilakukan penanaman pohon-pohon dipinggir-pinggir jalan agar dapat memperindah kota, akan tetapi alangkah lebih baiknya jika didukung oleh masyarakat terutama dengan menyediakan sebagian lahan di depan bangunannya termasuk ruko-ruko untuk ditanami pohon dan tanaman, atau paling tidak pemda setempat bisa membuat semacam instrumen hukum yang mewajibkan pemilik bangunan-bangunan terutama ruko-ruko untuk melakukan penghijauan di depan bangunannya, dengan adanya instrumen hukum ini diharapkan secara bertahap perbaikan pola hidup masyarakat ke arah yang lebih baik semakin tercapai. Sehingga kerusakan lingkungan yang merupakan dampak dari diterapkannya kapitalisme dalam kehidupan secara bertahap bisa dihilangkan.
Ingatlah firman Allah Swt: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, Allah menghedaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (TQS Ar-Rum : 41).

M. Ananta Firdaus, SH
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Unlam
E-mail : ananta@jurnal-ekonomi.org