POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA BEBAS AKTIF ?


POLITIK luar negeri merupakan cara atau metode suatu negara dalam menyikapi berbagai permasalahan internasional demi kepentingan negara yang bersangkutan, baik yang bersifat jangka pendek maupun jangka panjang. Adanya nilai-nilai yang diyakini oleh suatu masyarakat dan terlembagakan dalam struktur negara merupakan pewarna dominan dalam menentukan corak hubungan suatu negara dengan negara lain. Negara yang memiliki visi, misi, dan tujuan yang jelas cenderung menjadi super ordinat terhadap negara lainnya. Contohnya adalah Khilafah Islamiyah dan Uni Soviet sebelum runtuhnya, serta AS. Dalam perjalanan sejarah, politik luar negeri Indonesia timbul tenggelam di tengah pertarungan berbagai kepentingan terutama yang dilakukan oleh negara-negara besar dunia (baca : Negara ideologis). Bahkan, berbagai manuver politik internasional yang pernah dilakukan Indonesia –juga oleh negara lain yang katanya non partisan- ternyata juga tidak lepas dari skenario kekuatan global saat itu.

Pasca runtuhnya Uni Soviet –sebagai penopang utama ideologi sosialis komunis-, maka AS dengan ideologi kapitalisme nya menjadi pemain tunggal dalam menentukan tata dunia baru (New World Order). Kondisi unipolar seperti ini menjadikan AS sebagai satu-satunya negara adidaya, yang merasa berhak untuk menjadi polisi dunia dengan segala kewenangan yang dibuatnya sendiri. Bayangkan, bukan hanya kebijakan yang bersifat internasioal –yang dikeluarkan oleh lembaga dan perkumpulan internasional seperti WorldBank, WTO, IMF, APEC, juga PBB- , bahkan kebijakan dalam negeri sebagian besar negara di dunia, tidak lepas dari pengaruh AS. Untuk diketahui, AS adalah negara yang paling sering melakukan intervensi politik dan militer terhadap Negara lain. Tercatat, tidak kurang dari 216 kali AS mengirimkan pasukan-pasukan militernya ke luar negeri dan melakukan operasi militer untuk menjaga eksistensi dan kepentingannya. Dari invasi militer AS di Buenos Aires (Argentina) pada tahun 1890 sampai yang terbaru ke Irak (2003), dan tidak menutup kemungkinan ke Iran. Kampanye War Against Terrorism (WaT) merupakan bukti aktual arogansi negara tersebut terhadap dunia. Sebagai negara yang “terjajah”, tidak ada pilihan bagi Indonesia selain mengikuti skenario negara adidaya tersebut. Sebagaimana telah diduga sebelumnya, Indonesia lebih suka menjadi good boy yang lebih memilih wortel ketimbang pentungan. Untuk membuat kesan bahwa pilihan Indonesia tersebut reasonable dan WaT merupakan masalah bersama, maka AS melakukan berbagai operasi inetelijen. Salah seorang petinggi TNI pernah menyatakan bahwa ribuan intelijen asing sedang berkeliaran di berbagai tempat di Indonesia. Peristiwa Bom Bali 1 dan 2, Bom Kuningan, Bom JW Marriot, dsb, yang konon katanya dilakukan oleh JI beserta berbagai jaringannya, lebih kental nuansa rekayasanya dibandingkan sebagai sebuah fakta.

Pengerahan armada tempur besar-besaran AS dan NATO terhadap Afghanistan dan Irak, invasi militer yang dilakukan Israel atas Lebanon serta kebrutalannya terhadap warga Palestina, juga dukungan Indonesia terhadap Resolusi Penjatuhan Sanksi PBB atas Kasus Nuklir Iran beberapa waktu lalu semakin menampakkan bagaimana mandulnya peran Indoensia dalam pergaulan internasional. Padahal, sebagai Negeri Muslim terbesar, Indonesia sangat diharapkan memiliki peran signifikan untuk mencegah terjadinya tindakan despotik tersebut. Tapi apa mau dikata, mayoritas penguasa negeri muslim saat ini merupakan komprador (kaki tangan) dari AS. Sulit rasanya membayangkan ada budak yang berani melawan tuannya. Kalau terma “bebas aktif” didefinisikan bahwa Indonesia bebas berhubungan dan tidak tergantung dengan satu atau beberapa negara, serta aktif dalam mengusahakan terciptanya perdamaian dunia atas dasar kesetaraan dan keadilan, maka definisi tersebut sungguh bertentangan dengan realitas sebenarnya. Artinya, konsep politik luar negeri Indonesia “bebas aktif” yang sering digembargemborkan tidak lebih sebagai adagium belaka.

Hilangnya kemandirian Indonesia dalam pengambilan keputusan bukan hanya dalam konteks penyikapan terhadap situasi global, jalannya arah bangsa ini ternyata juga tidak sepi dari berbagai intervensi dan rekayasa asing. Pada era Perang Dingin, kecenderungan Indonesia untuk memihak suatu blok tertentu, banyak ditentukan oleh figur pemimpin bangsa. Terjadinya peristiwa G 30 S / PKI yang kemudian disusul dengan tumbangnya ORLA dan lahirnya ORBA, integrasi Timor Timur (yang kemudian lepas kembali) adalah beberapa contoh klasik bagaimana kentalnya pengaruh kepentingan asing.

Peristiwa Reformasi yang fenomenal itu juga tidak lepas dari adanya invisible hand dari kekuatan gobal yang memiliki vested interest terhadap berbagai kebijakan dari penguasa negeri ini, yang menurut mereka sudah mulai berani “melawan”. Berbagai UU yang telah dan akan disahkan oleh pemerintah ternyata juga merupakan “pesanan” para bule tersebut. Sebut saja UU Sumber Daya Air, UU MIGAS, UU Penanaman Modal, UU Perbankan, UU KDRT, RUU Pornografi, RUU BHP, dsb. Indikasinya, mereka begitu getol memberikan masukan (baca : tekanan) terhadap pengambil kebijakan negeri ini, baik secara langsung maupun dengan memberikan fasilitasi (terutama pendanaan) terhadap berbagai LSM. Intervensi yang begitu hegemonik dari negara adidaya bukan hanya membuat minimalis peran Indonesia dalam konstelasi politik internasional, tapi juga membuat negara kita membebek begitu saja dengan arus wacana yang dirancang oleh AS dan sekutu-sekutunya. Berbagai pernyataan sikap yang bersifat seruan, himbauan, tidak lebih sebagai basa basi diplomatik.

Mendambakan Kemandirian

Setiap tahun negeri ini merayakan hari kemerdekaannya. Seluruh penduduk Indonesia memang patut bersyukur bahwa penjajah telah angkat kaki dari bumi pertiwi. Tapi tidak bisa dibayangkan, seandainya para pahlawan kemerdekaan masih hidup dan melihat bagaimana kondisi bangsanya saat ini. Tentu mereka akan sedih, bahkan mencucurkan air mata. Bagaimana tidak, meski secara de jure penjajah sudah angkat kaki, tapi dominasi negara neoimperialis di negeri ini sudah sedemikian mengakar dan sistemik. Kemandirian dan menentukan nasib sendiri merupakan kata yang sangat indah menghias mimpi, asa yang semakin hari semakin menjauh dari alam realitas Bangsa Indonesia.

Seperti yang telah disebutkan di atas, hanya negara yang memiliki visi, misi, dan tujuan yang terdefinisi dengan jelas, yang mampu eksis bahkan mendominasi. Dengan kata lain, faktor utama yang menentukan corak atau pola hubungan satu negara dengan negara lain adalah ideologi yang diemban oleh negara tersebut. Dominasi AS yang begitu hegemonik terhadap dunia tidak lepas dari kejelasan tujuan mereka dalam tata hubungan internasionalnya, yaitu mengemban dan menyebarkan ideologi mereka berikut berbagai faham yang lahir dari ideologi tersebut. Itu mereka lakukan untuk menjaga eksistensi dan kepentingan mereka diseluruh penjuru dunia. Imperialisme (penjajahan dengan segala bentuknya) merupakan keniscayaan yang harus ditempuh agar tujuan tersebut bisa dicapai.

Negara ideologis seperti AS hanya bisa ditandingi oleh negara yang juga memiliki ideologi yang terdefinisi dengan jelas. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ideologi adalah konsep bersistem yang dijadikan sebagai landasan pendapat yang memberikan arah dan tujuan hidup. Dari definisi tersebut, maka ada dua hal yang harus ada dalam sebuah ideologi. Yaitu adanya landasan pemikiran yang bersifat konsepsional dan paradigmatik, dimana dari landasan tersebut terpancar berbagai pemecahan permasalahan kehidupan yang berbentuk seperangkat sistem / aturan. Apakah ideologi bangsa kita? Secara jujur, negeri ini masih belum memiliki ideologi yang terdefinisi dengan jelas. Dasar negara yang bersifat terlalu filosofis sering diartikan secara sefihak oleh penguasa. Semua rezim dari setiap orde memiliki pemaknaan yang berbeda-beda (bahkan kadang bertentangan) terhadap dasar negara. Jika pada masa Soekarno –dengan demokrasi terpimpinnya- nuansa sosialis begitu kental, maka warna kapitalis sangat terasa di era Soeharto, Habibie, Gusdur, Megawati, sampai masa pemerintahan SBY . Kejelasan ideologi merupakan panduan baku dalam setiap pemerintahan suatu negara, tidak tergantung dengan siapa yang memerintah.

Sebagai ajaran paripurna yang diturunkan oleh Sang Pencipta melalui Rasul Nya, Islam memenuhi syarat sebagai sebuah ideologi. Tentu ini bukan hanya sekedar klaim. Keunggulan sekaligus kelayakan Islam sebagai ideologi telah terbukti dan teruji, baik secara normatif, historis, dan empiris (lihat misalnya buku Islam Ideologi oleh Hafidz Abdurrahman, The Story of Civilization oleh Will Durrant, Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah oleh Michael H. Hart, dsb). Sebagai negeri muslim terbesar ditambah berbagai potensi dan kekayaan alam melimpah yang dianugrahkan oleh Nya, sudah selayaknya Indonesia menjadikan Islam sebagai ideologi negara. Adanya ideologi tersebut akan semakin memperjelas status Indonesia sebagai bangsa relijius.

Tentu saja, negara imperialis tidak akan pernah suka dan akan menggunakan berbagai cara -baik secara politis, ekonomi (misalnya dengan embargo), bahkan militer- untuk menghalang-halangi diterapkannya ideologi Islam di negeri-negeri muslim, termasuk Indonesia. Mereka tidak akan mau kehilangan kontrol atas puluhan negeri Islam yang memiliki kekayaan –baik SDA maupun SDM- yang melimpah. Sebagai jawabannya, tidak ada pilihan lain, negeri-negeri Islam harus bersatu menghadapi kekuatan besar dari negara adidaya seperti AS dan sekutu-sekutunya. Terpecah belahnya kaum muslim selama ini merupakan biang keladi mudahnya mereka didikte dan dijajah oleh negara kafir imperialis. Sekarang yang harus dikedepankan adalah bahwa negeri-negeri muslim memiliki satu kesamaan mendasar ; yaitu mereka diikat dan disatukan oleh Aqidah Islam. Tuhan mereka satu, kitab suci mereka satu, Nabi mereka satu, Ka’bah mereka satu, maka adalah hal yang wajar kalau mereka juga memiliki negara yang satu. Kalau Kaum Kristen memiliki institusi ke Pausan di Vatikan sebagai pemersatu kaum Kristen, maka umat Islam juga memiliki satu institusi yang menjaga dan melindungi seluruh kaum muslimin di seluruh dunia, yaitu Daulah Khilafah Islamiyah. Berbagai organisasi Islam internasional yang ada saat ini -OKI, Liga Arab, dsb- terbukti hanya melahirkan persatuan semu serta tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan kontemporer yang dihadapi negeri-negeri Islam. Karena bagaimanapun, lahirnya organisasi tersebut juga tidak lepas dari rekayasa negara imperialis.

Peleburan dengan negeri muslim yang lain akan semakin memperkokoh kedudukan Indonesia sebagai salah satu wilayah Kekhilafahan Islam. Kekhilafahan lah nantinya yang akan menjaga dan melindungi setiap wilayahnya dari berbagai ancaman dari luar. Dengan penduduk yang hampir 1,4 milyar, jumlah SDA yang melimpah dan kekuatan militer yang teramat besar (lihat CIA World Fact Book) dapat dipastikan Khilafah Islamiyah nantinya akan menjadi adidaya baru di kancah politik internasional. Khilafah Islamiyah inilah nantinya yang akan menyebarkan ajaran Islam –dengan dakwah dan jihad- ke seluruh penjuru dunia, agar Islam sebagai Rahmatan lil’alamin dapat segera diwujudkan. Dan satu hal yang pasti, upaya untuk mewujudkan tegaknya Khilafah Islamiyah tersebut dilakukan dengan perjuangan pemikiran, bukan dengan kekerasan.

*) Pernah dipublikasikan pada rubrik opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 15 Mei 2007.