MEMBONGKAR KEMBALI MEGA KORUPSI BLBI


Negeri Sarat Korupsi. Barangkali inilah julukan yang pas untuk negara bernama Indonesia. Tapi seperti apa dahsyatnya korupsi di negeri ini, mungkin tak banyak orang tahu. Sedikit gambaran terkuak pada hari Selasa, 22 Januari 2008 lalu, di Ruang GBHN, Gedung Nusantara V, DPR/MPR. Acara Peluncuran Buku dan Diskusi: Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara, yang menampilkan Kwik Kian Gie dan Prof. Edi Swasono serta Ismet Hasan Purbo (Ketua Umum Masyarakat Profesional Madani), Marwan Batubara (DPD), Bambang Widjoyanto (praktisi hukum), Dr. Iman Sugema (Direktur Intercafe IPB) mengambarkan betapa dahsyatnya korupsi itu terjadi. Tidak diragukan, skandal BLBI ini telah menyebabkan kerugian negara dalam jumlah yang sangat sangat besar. Yakni Rp 138,4 triliun (95,8%) dari penyimpangan penyaluran BLBI sebesar Rp 144,5 triliun dan Rp 84,842 (58,7%) dari penyimpangan penggunaan BLBI, serta Rp 17,76 triliun (33%) dari penyimpangan penggunaan rekening 502 (untuk tambahan BLBI dan blanket guarantee). Bukan hanya itu, kerugian juga ditimbulkan akibat terkucurnya Rp 431,6 triliun untuk penyuntikan obligasi rekap kepada pihak perbankan, ditambah sedikitnya Rp 600 triliun sebagai pembayaran bunganya. Sementara, atas dana BLBI yang terkucurkan, hanya sekitar 28% rata-rata tingkat pengembalian uang negara (recovery rate) dari penyelesaian kewajiban obligor melalui mekanisme PKPS Beban utang yang harus ditanggung oleh negara akibat skandal BLBI itu tentu saja juga sangat besar. Lebih dari Rp 1000 triliun harus disediakan untuk pembayaran pokok dan bunga obligasi rekap, dengan beban pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya mencapai Rp 40 triliun – Rp 50 triliun yang harus dilakukan hingga tahun 2021. Keadaan ini menyebabkan menurunnya kemampuan keuangan negara, khususnya dalam membiayai pelayanan publik seperti kesehatan dan pendidikan serta peningkatan kesejahteraan rakyat. Kenyataanya tentu sangat menyakitkan mengingat meski sudah lebih dari 60 tahun merdeka, Indonesia saat ini tengah mengalami problem kemiskinan yang luar biasa. Sebanyak 37,17 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 0,6/hari atau 70 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1/hari. Bahkan lebih dari 120 juta rakyat Indonesia hidup di bawah standar kesejahteraan sapi di Eropa yang menerima subsidi US$ 2,5/hari. Sebanyak 50% penduduk Indonesia tidak mempunyai rumah yang layak huni. Satu diantara 5 – 6 orang di Indonesia mengalami kelaparan setiap hari. Sebanyak 2,3 juta anak balita menderita gizi buruk dan 1,67 juta menderita busung lapar. 24 juta orang (10,4% dari total penduduk) adalah buta huruf. 4,18 juta anak usia sekolah putus sekolah. Sekitar 10 % angkatan kerja atau 10,55 juta orang adalah pengangguran. Ironisnya, sebagian dari pengemplang dana BLBI itu kini justru masuk dalam daftar orang terkaya Indonesia dimana kekayaan 150 orang terkaya (versi Globe Asia 2007) mencapai US$ 46,6 miliar atau Rp 438 triliun. Itu setara dengan total pendapatan 37,17 juta orang miskin berpenghasilan Rp 167.000 selama 5,7 tahun

Semua Turut Andil Skandal BLBI yang dampaknya terus dirasakan hingga kini, diawali oleh tindakan para obligor yang pada masa sebelum krisis memanfaatkan Pakto 88 yang dibuat oleh pemerintahan Soeharto, untuk mendirikan bank dan menarik dana masyarakat secara besar-besaran serta mengucurkan kepada kelompok usahanya sendiri. Nilai penyimpangannya mencapai Rp 84,842 triliun. Keadaan itu diperparah oleh sikap pemerintah waktu itu dengan tetap saja mempertahankan bank-bank tidak sehat (yang sebagiannya milik kerabat dan keluarga presiden) untuk tetap beroperasi. BI sebagai bank sentral yang menjalankan fungsi lending of the last resort, juga bertindak ceroboh. Hasil Audit BPK dan BPKP menunjukkan sebagian besar penyaluran BLBI oleh BI sekitar 95,8% dari total BLBI sebesar Rp 144,5 triliun tidak dapat dipertanggungjawabkan. BI juga tidak menciptakan mekanisme pengendalian yang memadai terhadap penggunaan BLBI dan tidak menerapkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi (termasuk pelanggaran BMPK). Terakhir ditemukan aliran dana haram BI (menggunakan dana YPPI) sejumlah Rp 100 miliar kepada sejumlah pihak (DPR, aparat penegak hukum) untuk membantu proses hukum pejabat-pejabat BI, sehingga menguatkan indikasi keterlibatan oknum pejabat BI dalam skandal BLBI.

Pada tahap penyelesaian BLBI, korupsi terjadi lagi dan menimbulkan skandal baru. Obligor sengaja menyerahkan kepada BPPN aset-aset yang tak layak, di bawah nilai pinjaman, dan bahkan fiktif sebagai jaminan pelunasan kewajiban mereka. Estimasi yang dilakukan secara sembrono terhadap aset yang diserahkan oleh para obligor sehingga nilai riil aset jauh dibawah harga buku serta penjualan aset tersebut secara tergesa-gesa dengan harga murah, sehingga tingkat pengembalian uang negara sangat kecil, menambah kerugian negara. Menurut audit BPK, dari Rp 132,7 triliun aset yang diserahkan, nilai komersial aset hanya Rp 12,29 triliun. Kurang dari 10%!! Sudah begitu, melalui kolusi dengan pejabat BPPN, SKL (Surat Keterangan Lunas) dengan mudah diberikan kepada obligor meskipun mereka hanya membayar sebagian kecil kewajibannya (rata-rata hanya sekitar 28%). Salim Group hanya mengembalikan dana sekitar 36,77% dari dana BLBI lebih dari Rp 25 triliun. Dan dengan kelihaiannya, tentu melalui kolusi dengan pejabat terkait, pemilik lama bisa membeli kembali asetnya yang sudah diserahkan kepada pemerintah. Bahkan dengan harga sangat murah. BCA, misalnya direstrukturisasi dengan obligasi sebesar Rp 60,9 triliun, namun 51% sahamnya dijual hanya Rp 5,3 triliun. Ironinya, menurut Kwik, keputusan jahat seperti ini dibuat dalam rapat kabinet. Semua peserta rapat, presiden Mega, wakil presiden Hamzah Haz, termasuk SBY dan Yusuf Kalla dan Boediono, menyetujui keputusan aneh ini. Hanya menteri Kwik saja yang menolak. Bukan hanya BCA, TPN (milik Humpuss) yang merupakan pembayar atas utang Humpuss senilai Rp 4,576 triliun dijual kepada Vista Bella (ditengarai juga terafiliasi Humpuss) senilai Rp 521 miliar saja. Tapi semua kekacauan ini, disamping tentu saja akibat kesalahan pemerintah, juga amat dipengaruhi oleh tindakan IMF. Dengan kewenangan yang dimiliki pasca ditandatanganinya LOI, IMF bebas melakukan intervensi, mencampuri dan memaksakan kehendaknya pada hampir seluruh kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah melalui LOI dan Memorandum on Economic and Financial Policies. Tercatat, terdapat sekitar 1.300 butir kesepakatan LOI yang harus diimplementasikan pemerintah. IMF telah memberikan rekomendasi ekonomi yang salah arah sehingga justru memperparah krisis, seperti merekomendasikan penutupan 16 bank tanpa persiapan matang, sehingga justru menambahkan deras arus rush masyarakat. Juga, menekan pemerintah untuk mengucurkan obligasi rekap dalam jumlah besar kepada pihak perbankan (melalui desakan target penguatan CAR minimal 8%). Lalu, menekan pemerintah untuk segera menjual bank-bank rekap (antara lain BCA, Bank Niaga) dalam waktu singkat, sehingga harga jualnya sangat rendah seperti yang dijelaskan di muka. Sedihnya, terhadap kejahatan yang luar biasa ini, tidak dilakukan penyelesaian hukum secara tuntas sehingga berlarut-larut hingga sekarang. Keadaan ini makin diperparah oleh tidak adanya ketegasan pemerintah, pada beberapa era, untuk menyelesaikan kasus ini secara adil dan berpihak pada kepentingan publik (bahkan terhadapat indikasi diperalatnya kasus ini hanya untuk kepentingan segelintir elit politik). Kekacauan penyelesaian skandal BLBI makin menjadi-jadi dengan dihapusnya aspek pidana obligor yang telah memperoleh SKL melalui pemberian fasilitas R&D atau Release and Discharge (pelepasan dan pengapusan) berdasarkan Inpres No 8/2002 yang ditandatangani oleh Presiden Megawati. Sebelumnya, Presiden BJ Habibie memulai penyelesaian kasus BLBI secara out of court settlement. Dan Presiden SBY tidak tegas terhadap 8 obligor, bersedia menegosiasikan JKPS dan bahkan sempat menyambut obligor di Istana Melihat itu semua, wajar bila kasus BLBI tidak kunjung tuntas meski telah melewati empat pemerintahan di era reformasi (Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati dan SBY). Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh pernah menyatakan akan menggunakan wewenang deponering terhadap obligor yang telah menyelesaikan PKPS. Sementara Jampidus Hendarman Supandji (kini Jagung) sempat mengubah kebijakannya dari menyeret obligor ke pengadilan (Agus Anwar) menjadi menerima tawaran pengembalian uang senilai Rp 500 miliar. Dan mereka yang menerima BLBI yang sebagian besar melakukan tindak pidana dan belum menyelesaikan kewajiban sebagian kini buron dan bahkan sudah berganti kewarganegaraan. Ironinya lagi, sebagian kini menjadi lebih kaya dibanding sebelum krisis, meskipun pernah mengaku bangkrut. (FW/LI)