MENYOAL MINIMNYA ANGGARAN PENDIDIKAN


MASIH minimnya alokasi APBN tahun 2007 bagi sektor pendidikan membuat sebagian orang semakin pesimis akan prospek dunia pendidikan ke depan. Pemerintah lagi-lagi tidak sanggup memenuhi amanat konstitusi yang menyatakan bahwa anggaran untuk sektor pendidikan minimal sebesar 20 %. Alasan klise -minimnya dana yang tersedia- kembali dijadikan alibi. Bahwa ada beberapa sektor yang lebih urgen dan menyedot dana besar, seperti penanganan pasca bencana alam yang beberapa waktu lalu beruntun terjadi di negara kita.
Sepertinya sektor pendidikan senantiasa dikorbankan dalam pengambilan kebijakan. Karena memang sektor ini tidak bisa dinikmati hasilnya dalam waktu singkat. Ia merupakan investasi jangka panjang. Sementara karakteristik pejabat kita cenderung ingin memperlihatkan "prestasi" mereka secara instan kepada masyarakat. Contah yang mudah dilihat adalah pembangunan berbagai insfrasturktur yang banyak melibatkan modak asing (utang?) dalam pembiayaannya. Padahal, siapapun akan mudah mengerti bahwa pendidikan adalah kunci bagi kemandirian bangsa ini.

Pendidikan yang berkualitas memang mahal. Mencetak tenaga pengajar yang profesional, sarana prasarana belajar (gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, dsb)yang memadai, sampai publikasi hasil penelitian tentunya memerlukan bea yang tidak sedikit. Akhirnya pemerintah -sesuai dengan anjuran beberapa lembaga donor- mengeluarkan kebijakan yang tidak populer, yaitu privatisasi dan swastanisasi sektor pendidikan (yang disebagian sekolah dan PT sudah diterapkan). Secara perlahan pemerintah mulai mengalihkan pembiayaan sektor publik, termasuk pendidikan, kepada masyarakat.

Mengacu kepada pemberitaan berbagai media cetak bahwa negara kita yang tercinta ini ternyata memiliki utang yang sangat besar, yaitu kurang lebih 1300 triliyun! Pembengkakan utang yang begitu besar, yang dimulai sejak krisis moneter 1997, lebih disebabkan oleh besarnya bunga utang yang ditanggung oleh pemerintah. Nah, sebagian besar dana untuk pembangunan digunakan untuk membayar cicilan utang plus bunganya! Kekayaan alam kita juga tidak memberikan kontribusi signifikan bagi peningkatan kesejahteraan karena dikelola oleh perusahaan-perusahaan kapitalis asing yang rakus. Hanya sebagian kecil saja yang masuk ke kas negara. Itupun terjadi pemotongan di sana sini.
Seandainya kita memiliki kemandirian, tentu kita akan bisa berdiri sejajar dengan bangsa lain. Kita dapat menanggung seluruh biaya pembangunan, terutama sektor yang strategis seperti pendidikan, tanpa memberatkan masyarakat. Untuk itulah kita memerlukan sistem penyelenggaraan negara yang lebih berfihak kepada rakyat, di mana fungsi negara yang sesungguhnya adalah mengurusi berbagai hajat hidup orang banyak serta menjamin kemaslahatan mereka.

*) Pernah dipublikasikan di SIM FKIP Unlam