KESADARAN TRANSENDENTAL


DULU, pada saat awal-awal kemerdekaan, kita adalah bangsa yang cukup disegani. Posisi strategis bangsa kita membuat dua blok besar pada saat itu -Blok Barat yang dipimpin AS serta Blok Timur yang dikomandani US- saling bersaing dalam menancapkan pengaruhnya. Lobi-lobi politik internasional kita juga tidak bisa dipandang sebelah mata. Bangsa kita adalah pelopor berdirinya KAA, GNB, dst. Walaupun dengan fasilitas yang masih sederhana, pemerintah memiliki komitmen yang begitu tinggi -setidaknya jika dibandingkan dengan sekarang- terhadap kesejahteraan rakyatnya. Selain itu juga -walaupun dalam keadaan yang masih bergejolak- rakyat pada saat itu memiliki solidaritas yang patut dicontoh. Rasa senasib sepenanggungan telah merekatkan mereka. Mereka bahu membahu bekerja keras untuk merubah nasib.

Dengan berjalannya waktu, ternyata budaya kerja keras tersebut semakin luntur. Ironisnya, penyakit ini diidap oleh hampir semua kalangan, terutama di jajaran pengambil kebijakan. Dari beberapa orde yang dilalui, sepertinya kualitas kehidupan tidak kunjung membaik. Seorang kolumnis bahkan pernah mengatakan, Indonesia adalah negara yang gagal (failed state), satu level di atas negara runtuh (collapsed state). Setidaknya hal ini digambarkan dari kualitas hidup rakyat yang mencerminkan gagalnya pemerintah dalam mengiplementasikan kebijakan yang pro rakyat.

”Prestasi” kita di dunia internasional lebih didominasi oleh hal-hal yang negatif. Tingginya tingkat Kecurangan birokrasi (seperti KKN), Kualitas Human Development Index (HDI) yang begitu memprihatinkan, buruknya layanan kesehatan, tingginya kematian ibu hamil, sampai predikat sebagai negara terporno di dunia di bawah Rusia. Peran kita dipergaulan antar bangsa lebih payah lagi. Kita hanya melongo -tanpa bisa berbuat apa-apa- ketika Ada beberapa negara despotik menyerang negara lainnya dengan beberapa buah alibi palsu. Bahkan negara tetangga kita (yang kalau di peta hampir tidak kelihatan bentuknya) dengan begitu congkak mengatakan "Kami tidak akan mengekstradisi koruptor kakap asal Indonesia karena ini adalah hak kami". Kita telah kehilangan kemandirian sekaligus kehormatan.

Tapi sebenarnya, tidak sedikit anak bangsa ini yang memiliki integritas moral yang tinggi. Bangsa ini juga sebenarnya tidak kekurangan SDM yang handal (buktinya, kita bisa membuat pesawat terbang dan berbagai peralatan yang berbasis hi-tech). Lalu, dimana masalahnya?

Apa yang dilakukan manusia sangat tergantung dengan lingkungan tempat tinggalnya. Dalam tinjauan sosio-psikologis, lingkungan bahkan dapat membentuk karakter manusia. Karena bagaimanapun, manusia adalah makhluk sosial. Ternyata ada yang salah dalam sistem penyelenggaraan negara yang kita lakukan selama ini. Sehingga wajar, banyak manusia Indonesia -terutama para aparatur- yang "terkondisikan" untuk melakukan korupsi, suap, bertindak opurtunistik (memikirkan kepentingan sendiri), dan berorientasi pada materi. Akibatnya, mereka sering membuat peraturan (UU, PERPU, PERPRES, PERDA, dst) yang "abu-abu". Peraturan yang dibuat sering ter(di)tunggangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu, tidak jelas, tidak komprehensif, temporal, dan tidak solutif. Salahsatu kebijakan tersebut diantaranya adalah privatisasi dan swastanisasi sektor publik, yang sering menggunakan jargon-jargon manipulatif ; persaingan sehat, peningkatan kualitas manajemen, dsb.
Perilaku seperti ini juga menghinggapi sebagian masyarakat. Tidak sedikit diantara mereka yang menjadi "predator" dan "drakula" bagi sesamanya.

Sesungguhnya, masyarakat -dari level elit sampai grass root- yang baik hanya dapat dihasilkan dari sebuah sistem yang baik. Sistem yang baik secara alami akan menghasilkan produk-produk unggulan yang tentu akan memuaskan semua pihak. Produk-produk unggulan tersebut dapat dilihat dari implementasi kebijakan di semua sektor kehidupan; politik, ekonomi, hukum, sosbud, pendidikan, kebijakan luar negeri, dst. Sehebat apapun Schumacher, dia tidak akan pernah juara F1 kalau mengendarai Ferrari yang berteknologi bajaj. Yang membuat sistem tentu bukan manusia, karena secara asasi ia memiliki berbagai kelemahan. Aturan yang baik tentu yang paling memahami manusia itu sendiri, yaitu Pencipta Manusia. Seperti halnya Schumacher yang tidak mungkin membuat sekaligus mengendarai mobil F1-nya sendiri. Dari sinilah diperlukan kesadaran transendental demi terwujudnya hakekat kemanusiaan yang sesungguhnya. Bahwa kelemahan, kekurangan, dan berbagai keterbatasan dalam diri manusia merupakan raison d’etre yang mengharuskan manusia untuk senantiasa tunduk dan patuh kepada seluruh aturan-aturan Nya. Bahwa kesejahteraan dan keselamatan hakiki hanya bisa dicapai dengan ketaatan holistik terhadap Dien Nya…Wallahu’alam bisshowab.

*) Pernah dipublikasikan pada rubrik Opini Harian Mata Banua, Edisi Desember 2007.