LIBERALISASI (SEMAKIN) MENGANCAM KITA


Sebuah tragedi telah terjadi beberapa hari lalu. Di tengah maraknya berbagai kasus amoral dan pelecehan seksual akibatnya merajalelanya pornografi dan pornoaksi, kita disuguhkan oleh berita yang benar-benar membuat miris, bahkan nyinyir. Erwin Arnada, Pimred Playboy Indonesia, secara mengejutkan dijatuhi vonis bebas oleh majelis hakim dalam kasus penyebaran pornografi lewat media yang dipimpinnya. Majelis Hakim menilai konon kabarnya Tim JPU ceroboh dalam mengajukan dasar tuntutan hukum dan relevansinya dengan kasus yang menimpa Erwin.

Kontan saja, sebagian besar pengunjung sidang tidak bisa menyembunyikan ekspresi kekecewaan yang teramat sangat. Bahkan ada yang berteriak "Selamat datang di negeri cabul !".

Kembali kita disuguhkan oleh pemandangan yang menjijikan. Ini merupakan kemenangan (kembali) liberalisasi. Iblis yang bernama liberalisasi ini semakin bersorak karena penghalang-penghalang langkahnya semakin terpinggirkan. Sekarang, ia bebas menyebarkan racunnya yang mematikan keseluruh aspek kehidupan bangsa ini, dari perkotaan sampai ke pelosok. Ironis, di tengah maraknya berbagai bencana yang menimpa, kesadaran akan pentingnya kembali ke ajaran Nya ternyata tidak kunjung tiba.

Inilah buah sekulerisasi. Kebebasan -dengan berbagai bentuknya- dianggap sesuatu yang sakral, tidak bisa diganggu gugat. Tidak satupun entitas yang bisa mengekangnya, meski itu adalah entitas keyakinan yang selama ini menjadi "hantu" bagi para liberalis; yaitu agama. Para pengusungnya dengan begitu bersemangat meneriakkan kebebasan sebagai langkah manjur untuk menuju sebuah masyarakat yang beradab dan egaliter. Mereka beralibi, Negara-Negara barat mengalami kemajuan karena menjadikan liberalisasi sebagai asas kehidupan masyarakatnya. Mereka tidak tahu (atau memang tidak ingin tahu), negara-negara barat saat ini telah diambang kehancuran. Ketimpangan tingkat pendapatan yang sedimikian parah akibat pemiskinan struktural oleh negara, tingginya angka berbagai kasus kriminal (pembunuhan, perkosaan, kepemilikan senjata api, penggunaan narkoba dan zat aditif), free sex, tingginya angka bunuh diri, sampai ancaman kepunahan ras manusia akibat dilegalkannya kawin sesama jenis, adalah sebagian dampak dari liberalisasi yang begitu mereka puja-puja.

Sebenarnya, angin Kebebasan berekspresi di negeri ini semakin kencang berhembus sejak beberapa waktu lalu. Maraknya pornografi di media sudah menjadi rahasia umum. Penggerebekan yang dilakukan oleh aparat ternyata panas-panas tahi ayam. Meski menuai kontroversi, majalah playboy toh juga tetap bisa terbit sampai sekarang. Semuanya bermuara pada satu hal : semakin minimalisnya peran negara (baik eksekutif maupun legislatif) dalam perumusan regulasi yang bersifat protektif. Seharusnya, pemerintah dapat merumuskan seperangkat UU yang dapat melindungi masyarakat dari degradasi moral yang sedemian parah akibat maraknya pornografi dan pornoaksi. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. RUU anti Pornografi dan pornoaksi -yang sebelumnya diharapkan menjadi payung hukum yang efektif bagi pemberantasan pornografi dan pornoaksi telah mengalami reduksi sekaligus ditorsi ekstrim dalam hal "content" yang mengakibatkan pornografi bukan lagi merupakan sesuatu yang terlarang secara mutlak. Namanya pun terasa semakin "bersahabat" ; RUU Pornografi.

Ya, para pengusung liberalisasi kembali bersorak sorai !

*) Pernah dipublikasikan pada rubrik Forum Anda Harian Radar Banjarmasin, Edisi 13 April 2007.