MENYIKAPI ANCAMAN SEPARATISME


ISU separatisme sempat mengemuka beberapa waktu lalu. Insiden pengibaran bendera Republik Maluku Selatan (RMS) yang terjadi pada saat peringatan Hari Keluarga Nasional (HARGANAS) di Lapangan Merdeka, Ambon, kembali menyentak kesadaran kita sebagai sebuah bangsa. Ternyata gerakan separatisme dan ancaman disintegrasi bukanlah sesuatu yang bisa dipandang sebelah mata. Ironisnya, insiden tersebut terjadi di depan para tamu undangan yang kebanyakan pejabat tinggi pemerintahan. Bahkan, kepala negara juga berada di tengah-tengah undangan. Meski akhirnya bisa dicegah, tak pelak hal tersebut menjadi sebuah pukulan telak bagi aparat berwenang yang untuk kesekian kalinya kembali kecolongan. Efek psikologisnya tentu sangat mendalam. Baik bagi aparat sendiri maupun berbagai komponen bangsa lainnya. Buruknya kinerja dan koordinasi antar aparat berwenang mengakibatkan gerakan separatis seperti RMS mendapatkan kesempatan untuk “berparade” di hadapan kepala negara. Sungguh memalukan.

Mereka seolah ingin mengatakan, bahwa mereka tetap eksis dan konsisten dengan perjuangan untuk memisahkan diri dari NKRI, meski harus berhadapan dengan berbagai elemen kekuatan dari bangsa ini.

Beberapa hari setelah insiden tersebut, kejadian serupa kembali terulang. Bahkan kali ini terlihat lebih vulgar. Bendera bintang kejora –simbol gerakan separatis OPM – di diperlihatkan dan ditenteng oleh seorang penari dalam sebuah forum pertemuan dewan adat Papua. Bahkan, pekikan merdeka terdengar dari beberapa peserta forum. Kali ini aparat keamanan tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka dicegah masuk ke tempat pertemuan. Alhasil, aksi teatrikal tersebut berlangsung tanpa hambatan.

Sebenarnya insiden di atas bukanlah yang pertama kali terjadi. Kalau ditelisik ke belakang, berbagai aksi separatis yang mengancam integrasi bangsa kerap dilakukan oleh organisasi yang selama ini getol menyuarakan pemisahan diri dari NKRI. Bahkan di Aceh, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) melakukan perjuangan bersenjata secara frontal dengan fihak TNI. Sangat disayangkan, status DOM di Aceh lebih banyak merugikan masyarakat ketimbang menghancurkan kekuatan GAM. Setelah perjuangan bersenjata selama bertahun-tahun, GAM bisa dikatakan “merdeka” secara de facto pasca Penandatanganan Helsinki pada 15 Agustus 2005. Kengototan mantan kombatan GAM untuk memakai simbol bendera GAM dalam mendirikan partai politik lokal juga mengindikasikan masih bercokolnya spirit untuk memisahkan diri. Tidak menutup kemungkinan, penandatanganan Helsinki menjadi batu loncatan bagi organisasi separatis tersebut untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Sementara itu di Papua, adanya otonomi khusus membuat OPM mendapatkan “angin segar”. Selama bertahun-tahun mereka melakukan perjuangan dengan menggunakan berbagai cara. Selain pengibaran bendera, mereka kerap melakukan serangan bersenjata secara sporadis terhadap berbagai kepentingan pemerintah. Yang tidak kalah berbahaya adalah adanya upaya menginternasionalisasikan masalah Papua yang berpeluang pada masuknya berbagai kekuatan dan kepentingan asing di negara kita. Pada 29 Mei – 4 Juni 2000 berlangsung Kongres Rakyat Papua yang menggugat penyatuan Papua dengan NKRI pada era Soekarno. Selanjutnya Kongres meminta dukungan internasional untuk kemerdekaan Papua. Kongres ini dihadiri oleh utusan dari AS, Australia, Inggris, dan negara-negara barat lainnya. Kita juga tidak lupa dengan upaya beberapa senator AS untuk menggolkan RUU mengenai Papua.

Adapun RMS juga tidak jarang melakukan manuver untuk menunjukkan eksistensi kelompoknya. Bahkan, Alex Manuputty sampai saat ini asyik berkeliaran di AS. Padahal pada akhir tahun 2003 lalu MA telah menjatuhkan hukuman 4 tahun penjara bagi gembong RMS tersebut.

Sebagai sebuah bangsa besar yang memiliki kekayaan alam yang melimpah dengan beragam suku bangsa dan adat istiadat, harus diakui, negara kita memang memiliki potensi konflik dan perpecahan. Semua isu bisa diangkat sebagai pemicu disharmoni dalam masyarakat. Dari masalah perbedaan agama, suku, sampai tingkat diferensiasi kelas sosial yang memang semakin hari cenderung semakin tajam. Hal ini juga didukung oleh kondisi geografis negara kita yang sangat strategis sekaligus rentan terhadap berbagai penetrasi asing dan kejahatan antar negara. Belum kalau kita melihat proses tersebut dari perspektif benturan peradaban yang sampai saat ini terus berjalan. Bagaimanapun, kondisi demografis Indonesia –yang merupakan negera muslim terbesar- tentu agak “mengkhawatirkan” para neoimperialis dalam menjalankan berbagai agendanya di negeri ini. Dengan berbagai potensi yang dimiliki Islam dan kaum muslim, para neoimperialis menganggap bahwa umat Islam merupakan “raksasa” yang masih terlelap. Akan sangat berbahaya kalau “raksasa” tersebut sampai terbangun dan sadar akan kondisi disekitarnya. Adanya konflik dalam bentuk apapun tentu sangat menguntungkan bagi mereka. Selain akan mereduksi kekuatan kaum muslim, hal tersebut juga akan memudahkan para neoimperialis untuk menguasai wilayah –wilayah yang kaya akan beragam sumberdaya.

Melihat realitas diatas, maka harus ada langkah-langkah preventif agar hal-hal yang tidak diinginkan bisa dicegah sejak dini. Tugas kita semua –terutama pemerintah dan aparat berwenang- adalah mengeliminir agar aktifitas apapun yang mengarah kepada separatisme dan disintegrasi tidak tumbuh subur dan menancapkan pengaruhnya di masyarakat. Alangkah naifnya kalau mereka diberikan peluang dan kesempatan dengan asumsi hal ini bukanlah masalah urgen, bahwa kekuatan mereka tidak signifikan, hanya kelompok minoritas, dsb. Bukankah tragedi lepasnya Timor Timur dari pangkuan NKRI berawal dari lambannya pemerintah dalam melihat akar permasalahan di wilayah tersebut ?

Ada beberapa langkah yang mesti secepatnya diupayakan, antara lain : pertama, memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat. Sudah menjadi rahasia umum, tingkat kesejahteraan sangat mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam proses pembangunan. Adalah wajar mereka merasa dianaktirikan apabila kue pembangunan tidak menyentuh sedikitpun hajat hidup mereka karena buruknya regulasi yang ada. Ketidakpuasan dan kekecewaan yang terakumulasi dapat memicu tindakan anarkis. Di daerah tertentu, hal tersebut akan berujung pada tuntutan-tuntutan ekstrim yang kadangkala tidak proporsional. Kondisi ini sangat rentan dengan hadirnya para aktor intelektual yang memiliki kepentingan terselubung. Para intelektual itu akan mengangkat isu-isu tersebut untuk mengambil hati masyarakat. Oleh sebab itu, pembangunan mesti benar-benar merata dalam arti yang sesungguhnya. Seluruh warga negara diberikan akses dan kesempatan yang sama untuk mencicipi kue pembangunan. Artinya, sistem pengelolaan kekayaan negara harus berfihak pada rakyat, bukan pada segelintir fihak, apalagi fihak asing.

Kedua, tindakan tegas dari pemerintah dan aparat yang berwenang. Apa yang dilakukan oleh gerakan separatis selama ini sangat membahayakan integrasi bangsa. Hal tersebut bukanlah perkara kriminal biasa, tapi ekstraordinary crime yang membutuhkan penanggulangan secara khusus. Para aktor intelektual mereka harus diberangus sampai ke akar-akarnya. Bukan hanya pelaksana lapangan saja. Pemerintah harus berupaya mengerahkan segala kekuatan dan para pelaku mesti mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya. Tindakan tegas ini diperlukan untuk menjaga wibawa pemerintah dan juga mendatangkan efek jera bagi setiap pelaku gerakan separatis.

Ketiga, seluruh komponen bangsa (birokrat, akademisi, orsospol, media massa, dsb) mesti melakukan penyuluhan massal kepada masyarakat tentang bahaya gerakan separatis berikut manuver-manuver yang mereka lakukan. Hal ini penting untuk memunculkan kesadaran umum akan pentingnya persatuan dan kesatuan serta menghindari keresahan sosial akibat aksi kaum separatis. Harus benar-benar difahami bahwa HAM, demokrasi, dsb, hanyalah sekedar kedok bagi gerakan separatis –dan juga fihak asing- untuk meligitimasi aktifitas separatisme.

Keempat, pemerintah harus berupaya meningkatkan bargaining position nya di dunia internasional. Sudah menjadi rahasia umum, jalannya pemeritahan di negara kita saat ini sering dipengaruhi oleh berbagai kepentingan luar, terutama kepentingan negara besar. Akibatnya, negara kita hampir tidak punya wibawa. Untuk kasus separatisme ini, banyak kalangan yang menilai bahwa pemerintah terlalu lembek. Karena daya tawar yang rendah, pemerintah tidak bisa “memaksa” AS untuk mendeportasi pimpinan RMS, Alex Manuputty. Pemerintah juga tidak bisa mencegah para petinggi GAM dan OPM yang meminta suaka politik di negara lain. Mereka malah mendapatkan dukungan dari negara bersangkutan –dan juga badan/lembaga internasional, baik secara implisit maupun terang-terangan. Pemerintah juga akhirnya harus tunduk pada masyarakat internasional yang menginginkan adanya referendum di Timor Timur dan mengakibatkan lepasnya wilayah tersebut dari NKRI. Fakta di lapangan juga menunjukkan bahwa fihak asinglah sebenarnya yang banyak bermain. Karena itulah pemimpin negara harus berani mengatakan “tidak” pada setiap upaya campur tangan asing untuk mengobok-obok Indonesia.

Patut diingat, politik perpecahan merupakan cara jitu suatu kelompok atau bangsa untuk menguasai kelompok atau bangsa lain. Bukankah penjajah Belanda dulu menggunakan politik belah bambu, divide et impera, untuk memecah-belah bangsa kita dan kemudian melakukan penjajahan sampai berabad-abad lamanya. Mereka juga melakukan adu domba terhadap berbagai elemen dalam masyarakat. Terjadinya Balkanisasi (pemisahan negara-negara di wilayah Balkan) terbukti merupakan rekayasa kekuatan imperialis global untuk kemudian menguasai sedikit demi sedikit wilayah tersebut. Sejarah juga memperlihatkan secara gamblang bagaimana akhirnya kaum muslim terpecah menjadi limapuluh lebih negara bangsa, padahal sebelumnya mereka dipersatukan oleh institusi yang telah beratus-ratus tahun menjadi perisai mereka. Begitu pula tragedi yang menimpa Hamas – Fatah di Pelestina, konflik berkepanjangan antara Sunni – Syiah di Irak, dsb.

Semoga dengan langkah-langkah tersebut di atas, ancaman separatisme bisa dihilangkan atau paling tidak dapat meminimalkan terjadinya disintegrasi di tengah bangsa kita. Wallahu’alam bis showab.

*) Pernah dipublikasikan pada rubrik opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 19 Juli 2007.