HAKEKAT BERFIKIR


BERFIKIR merupakan aktifitas alamiah bagi setiap makhluk yang bernama manusia. Sejak zaman prasejarah, manusia senantiasa berusaha memecahkan permasalahan yang dihadapinya, bagaimanapun sederhananya permasalahan tersebut. Ketika merasa lapar, mereka akan berusaha mencari makanan. Mereka mengasah batu dan mengikatkannya pada potongan dahan. Ketika ada binatang yang lewat, mereka lemparkan lembing sederhana tersebut. Dagingnya mereka masak dan kulitnya mereka jadikan pakaian untuk melindungi tubuh mereka dari cuaca dingin. Mereka juga tinggal di tempat-tempat yang terlindung agar aman dari serangan binatang buas. Semua aktifitas yang mereka lakukan berawal dari sebuah proses berfikir, baik terencana maupun tidak.

Secara historis, kelebihan manusia yang satu ini -yaitu berfikir- telah menimbulkan berbagai diskusi panjang mengenai apa dan bagaimana proses berfikir tersebut. Sejak zaman Socrates, kemudian diikuti Plato (dimana salah satu muridnya adalah filosof terkenal Aristoteles) sampai era keemasan Islam dengan segudang tokoh pemikirnya. Bahkan terjadi polemik berkepanjangan ketika Al Ghazali membantah pemikiran-pemikiran Ar Razi, Al Farabi, dan filosof muslim lainnya, yang kemudian dibantah balik oleh seorang pemikir sekaligus qadhi Andalusia, Ibnu Rusyd. Selain itu terdapat beragam aliran pemikiran yang masing-masing memberikan penafsiran mengenai berbagai fenomena, baik masalah keimanan (yang bersifat abstrak), maupun benda-benda fisik.

Eropa meninggalkan masa kegelapannya (aufklarung/enlightment) ketika para pemikir mereka mulai meninggalkan dogma-dogma gereja. Ada yang secara ekstrim (tokohnya antara lain Machiavelli, Karl Marx, Fridrich Niestche, Thomas Hobbes, dst) dimana banyak diantara mereka menganut faham atheisme. Selain itu ada juga pemikir moderat seperti Martin Luther, Adam Smith, Descartes, Weber, Voltaire, dst, yang menjadi cikal bakal faham sekulerisme.

Tentu saja di sini saya tidak akan mendeskripsikan bagaimana pemikiran-pemikiran para tokoh tersebut secara menyeluruh, selain saya bukanlah orang yang ahli tentang hal tersebut. Yang pasti, kesalahan dalam memahami hakekat berfikir dan kekeliruan dalam metode berfikir akan berakibat fatal bagi seseorang. Apalagi yang berkaitan dengan aspek-aspek yang mendasar seperti tentang keberadaan Tuhan. Tumbuhnya faham atheisme dan filsafat materialisme merupakan salah satu bukti kesalahan fatal metode berfikir para tokoh sejarah tersebut.

Agar pemikiran dapat terjadi pada seseorang, ada beberapa hal yang harus ada pada orang tersebut yaitu :
1. Otak, sebagai pengolah berbagai informasi yang diserapnya.
2. Panca Indera (bisa salah satu indera saja), sebagai perantara masuknya data/informasi ke otak.
3. Realitas atau fakta yang sedang terjadi.
4. Informasi (maklumat) yang diterima sebelumnya oleh otak mengenai suatu realitas atau fakta.

Jadi, berfikir adalah proses masuknya realitas/fakta ke otak melalui panca indera, dimana realitas/fakta tersebut dihukumi/disimpulkan berdasarkan informasi sebelumnya mengenai realitas/fakta tersebut. Satu saja komponen di atas tidak ada, maka proses berfikir tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Contohnya orang gila yang kehilangan fungsi otaknya, atau anak kecil yang otaknya masih belum berkembang dan tidak mengetahui hakekat fakta sehingga cenderung ingin selalu mencoba-coba sesuatu (padahal sesuatu itu bisa membahayakan dirinya). Manusia juga tidak bisa memikirkan sesuatu yang abstrak/ghaib sebelum datang informasi yang meyakinkan pada dirinya. Karena dia tidak pernah secara langsung melihat fakta tersebut. Dia akan yakin terhadap sesuatu tersebut apabila ada "media" yang meyakinkan dia bahwa fakta yang dimaksud maujud (ada), dimana sebelumnya "media" tersebut sudah diyakini kebenarannya. Contohnya adalah keyakinan adanya hari kebangkitan dan alam akhirat bagi orang Islam. Kenapa meyakinkan? karena ia dibawa oleh sumber yang tidak diragukan lagi kebenarannya, yaitu Kitab Suci Al Qur'an.

Oleh : Abahnya Hafidz