MEMBANGUN KEUMATAN YANG SESUNGGUHNYA


Menarik untuk mencermati dan menelusuri secara mendalam tulisan saudara Said Aqiel Siradj (Ketua PBNU), tentang Membangun Keumatan yang Moderat, di Media Indonesia, Jum’at 11 Mei 2007). Kita memberikan apresiasi yang luar biasa terhadap tulisan tersebut, yang mengajak kita bersikap arif dan mendalam dalam berbagai ragam pemikiran yang berkembang di kalangan umat Islam.

Tulisan ini setidaknya memberikan “gesekan” terhadap pemikiran yang dikemukakan saudara Said Aqiel, agar pemikiran yang diterima umat lebih tajam dan memiliki nilai kritikal yang baik. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap tulisan tersebut, pemaparan saudara Aqiel tentang “Umat Moderat” sebenarnya lebih bersifat “pembiusan” terhadap gairah umat Islam yang ingin keluar dari selaksa probelematika yang menghimpit mereka. Sikap moderat yang ingin dikemukanan dalam tulisan tersebut lebih bersifat penggiringan opini, jauh dari sifat solutif yang secara riil diperlukan umat. Dalam konteks kekinian, aroma tulisan demikian pada akhirnya tidak lebih dari sekedar “opium” bagi umat dan hanya berguna untujk legitimasi rezim yang sekarang mengkooptasi kecerdasan dan daya kritis umat. Ini sangat berseberangan dengan visi dan misi warasatul ambiya yang senantiasa memberikan jalan terang, cahaya, di hiruk pikuk kegelapan kehidupan modern.

Sikap moderat, jalan tengah, hakikatnya tidak memiliki akar dan dasar keilmuan dalam sejarah Islam. Proses kemunculan pemikiran moderat –dan paket pemikiran lain seperti dialog antar agama-agama, pluralisme, dan lainnya— merupakan hal yang baru, asing, yang sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi intelektual kaum muslimin. Sikap moderat merupakan jalan tengah yang bersumber dari Barat dengan akar pandangan hidupnya yang Sekuler. Sikap ini bahkan dibidani oleh sejarah kelam pertarungan atau konfrontasi berdarah antara gereja dan para raja yang mengikutinya di satu pihak, dengan para pemikir dan filosof Barat di pihak yang lain. Pihak pertama memandang Kristen sebagai agama yang layak untuk mengatur seluruh urusan kehidupan, sementara pihak kedua memandang bahwa agama Kristen tidak layak untuk itu –karena Kristen dianggap sebagai penyebab kehinaan dan ketertinggalan.

Sikap pemikir dan filosof Barat tersebut juga terbangun dari trauma berdarah yang telah dilakukan pihak gereja pada abad pertengahan. Di zaman hegemoni gereja ini bahkan lahir sebuah institusi gereja yang sangat terkenal kejahatan dan kekejamannya, yang dikenal dengan istilah “inquisisi”. Adian Husaini mengutip ungkapan Karen Amstong –mantan biarawati dan penulis terkenal– dalam bukunya Wajah Peradaban Barat, “Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa salah satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah inquisisi, yang merupakan instrumen teror dalam Gereja Katolik sampai dengan akhir abad ke-17. Metode inquisisi ini juga digunakan oleh gereja Protestan untuk melakukan penindasan dan kontrol terhadap kaum Katolik di negara-negara mereka”. Ungkapan yang populis saat itu adalah : “Berhati-hatilah, jika anda berada di depan seorang wanita, berhati-hatilah jika anda berada di belakang keledai, dan berhati-hatilah jika berada di depan atau belakang pendeta”.

Trauma inilah yang kemudian melahirkan sikap moderat. Kedua belah pihak menyepakati suatu jalan tengah, yaitu: mengakui eksistensi Tuhan, tapi agama (Tuhan) tidak diberi hak untuk turut campur dalam kehidupan. Pengaturan urusan kehidupan sepenuhnya diserahkan kepada manusia. Dari sini pula kemudian mereka (Barat) menjadikan pemisahan agama dengan kehidupan (Sekularisme) sebagai dasar pemecahan terhdap berbagai persoalan hidup mereka. Berbagai persoalan dunia bahkan diselesaikan Barat dengan sikap moderat yang terbangun dari prinsip sekuler.

Dalam masalah Palestina misalnya, kaum Muslimin menuntut agar Palestina sebagai tanah yang dijanjikan Allah bagi mereka, sehingga semuanya adalah milik mereka. Namun negara-negara Barat menyodorkan solusi moderat –yang berbau kompromistik—pada tahun 1948, yaitu rencana pembagian tanah untuk mendirikan dua negara di Palestina, satu untuk Arab dan satu lagi untuk Yahudi. Sikap moderat Barat juga dapat direkam dari cara-cara mereka menyelesaikan problem di Kashmir, Cyprus, Bosnia, dan sebagainya.

Dengan meretas sejenak muasal dari sikap moderat tersebut, seharusnya kaum muslimin tidak layak membangun sikap atas dasar moderat atau jalan tengah.

Memang benar, bahwa dalam tradisi intelektual kaum muslimin biasa terjadi perbedaan pemahaman. Betapa pun serius perbedaan yang terjadi, selama mereka memiliki hujjah intelektual yang didasari oleh dasar Islam, semuanya akan memberikan kontribusi positif pada khazanah intelektual Islam. Posisi moderat sebenarnya tidak terlalu memberikan kontribusi yang produktif. Posisinya tidak lebih dari “penguat” rezim yang ada saat itu.

Hidup ini hakikatnya ada benar dan ada salah, ada malam dan ada siang, ada laki-laki dan wanita, ada surga dan neraka. Magnet di dunia ini hanya ada dua kutub. Positif dan negatif. Dan jika kita kritisi secara mendalam, sikap moderat hakikatnya tidak akan keluar dari kondisi ekstrim di atas. Ini adalah keniscayaan kehidupan. Konfrontasi pemikiran yang terjadi antara Mu’tazilah dan Jabariyah dicoba ditengahi oleh paham Asy’ari. Namun pada akhirnya, apa yang dihasilkan oleh paham Asy’ari tidak jauh dari Jabariah.

Al Qur’an dan As Sunnah juga tidak pernah mengajarkan kita untuk bersikap moderat dalam perkara-perkara yang telah jelas aturan mainnya. Ayat ke-2 dari al Qur’an surat al Baqarah yang menyatakan “Demikian pula, Kami telah menjadikan kalian (Umat Islam) sebagai “umat washatan”… memiliki makna bahwa umat Islam adalah umat yang adil. Sementara itu, keadilan (‘adalah) adalah salah satu syarat seorang saksi dalam Islam. Dengan kata lain, ayat di atas mengandung makna bahwa umat Islam kelak akan menjadi saksi yang adil bagi umat-umat lain (pada hari Kiamat), karena umat Islam telah menyampaikan risalah kepada mereka.

Ketegasan dan kejelasan al Qur’an dalam syariah tidak bisa dipahami secara sempit bahwa Islam dan kaum muslimin anti kemajemukan. Ketegasan Rasulullah dalam menerapkan seluruh isi Al Qur’an dan As Sunnah di Madinah justu menjadikan kemajemukan kehidupan yang ada di Madinah berirama dengan penuh kedamaian dan kesejukan. Jauh dari kemajemukan yang terbangun oleh sistem kehidupan Kapitalis dengan selaksa persoalan.

Kenyataan dunia saat ini menangis. Masyarakat dunia sedang menyaksikan kepongahan AS dengan ideologi Kapitalisnya. Yang menjadikan peradaban terkoyak dan melahirkan berbagai kesusahan di berbagai sektor kehidupan. Perang terjadi di mana-mana dan mesti terjadi minimal 10 tahun sekali , juragan minyak dunia terus menari-nari diatas darah masyarakat dunia. Di dalam negeri. Krisis multidimensi telah melanda negeri. Kemiskinan seolah semakin tersistematisasi, pengangguran kian membengkak, ekonomi tidak pernah stabil, umat sangat mudah diadu domba. Belum lagi umat ini selesai dari derita krisis moneter 10 tahun yang lalu, kini para ekonomi mensinyalir negara ini akan menghadapi krisis jilid 2.

Semua masalah ini memerlukan solusi yang fundamental. Dari Kapitalis yang menjadi biang kerok masalah tidak mungkin kita berharap. Sosialis telah terkubur dan nyata kegagalannya. Pada posisi inilah seharusnya kita menghadirkan Islam. Islam sebagai sistem kehidupan yang memiliki prospek cerah untuk menyelesaikan masalah-masalah multinasional tersebut. Umat ini harus terus diberi pencerahan bahwa Allah dan Rasul-Nya telah memberikan paket agama, “diin”, yang siap berkompetisi di depan ideologi rakus Kapitalis yang sekarang mencengram sendi-sendi kehidupan. Jangan umat ini diberi “opium” yang menjadikan mereka terus terhipnotis, stagnan, dan “sakau” pada posisi keterbelakangan mereka. Bahkan umat akan semakin bingung karena tidak ada pegangan yang jelas. Wallahu alam.

Sumber : www.hizbut-tahrir.or.id