UTOPIA NEGARA KESEJAHTERAAN


“Jika kita bicara ‘konsep-konsep zombie’, yaitu konsep tentang makhluk yang sudah mati tapi enggan untuk mati , maka salah satu yang terlihat menonjol masuk dalam konsep-konsep tersebut adalah konsep negara kesejahteraan (welfare state).” (Ulrich Beck)

Kapitalisasi dan liberalisasi Ekonomi di banyak negara telah menghadirkan sebuah bencana kemanusiaan yang begitu dahsyat sepanjang sejarah peradaban manusia. Puluhan bahkan ratusan juta manusia harus meregang nyawa dan lainnya manjalani hidup terlunta-lunta. Atas nama kebebasan, tidak sedikit manusia yang melakukan praktik perbudakan sistemik dengan legitimasi negara. Karena kerakusan yang luar biasa, manusia bukan hanya semakin ahumanis. Mereka juga memiliki andil besar terjadinya berbagai bencana global. Kerusakan lingkungan dan gangguan ekosistem membuat alam tidak ramah lagi dengan manusia. Banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, pencemaran berbagai zat berbahaya, sampai fenomena global warming.

Sebagian kalangan yang masih memiliki hati nurani sudah sering mendengungkan bahaya ekonomi pasar yang memegang teguh prinsip kebebasan mutlak. Tapi semuanya hanya menjadi suara sayup-sayup ditengah bisingnya teriakan para maniak laissez faire. Bisa dikatakan, pengarusutamaan peran negara sebagai sekedar “penjaga malam” membuat regulasi hanya menjadi lipstik untuk memuluskan usaha kaum kapitalis. Tengok saja, berbagai UU, PP, Perda, dsb, yang ada saat ini senantiasa mengacu kepada kepentingan “pasar”. Siapakah yang mengendalikan “pasar” tersebut? Tentu mereka yang memiliki kemampuan lebih ; kekayaan, teknologi, sampai akses. Hasilnya, regulasi senantiasa “ramah” dengan kaum pemodal kelas kakap dan “garang” terhadap orang-orang lemah dan miskin. Invisible hand yang konon katanya menjadi stabilisator pasar ternyata hanya menjadi mitos. Sesuai dengan namanya, perannya juga invisible (tidak kelihatan).

Pasca great depression di Amerika, keampuhan ekonomi klasik Adam Smith sebenarnya sudah mulai dipertanyakan. Para ekonom dan pengambil kebijakan sudah dapat melihat langsung kengerian yang luar biasa akibat liberalisasi ekonomi yang berujung pada krisis multidimensi. Sebagian dari mereka akhirnya berkesimpulan, pemerintah tidak seharusnya berlepas tangan dan hanya menjadi penonton ketika ada sebagian warga negaranya bertindak sewenang-wenang pada yang lain dengan dalih kebebasan kepemilikan dan berusaha, demi meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Regulasi harus bersifat lebih membumi dan protektif terhadap warga negara yang kurang beruntung. Mereka juga berhak mendapatkan kesempatan untuk hidup sejahtera. Dalam hal ini, lahirlah konsep welfare state (Negara Kesejahteraan) yang menginginkan agar pemerintah lebih berperan dalam menstimulus kinerja ekonomi untuk mencapai kemakmuran kolektif, bukan hanya untuk segelintir orang.

Seiring berjalannya waktu, jarum jam ternyata berbalik arah. Liberalisme ekonomi kini bereinkarnasi. Ia hidup kembali dalam bentuk yang lebih mengerikan. Liberalisme gaya baru (neoliberalisme) menjadi mainstream dalam konstelasi ekonomi dunia. Negara-negara besar terutama AS menjadi motor penggerak utama dalam memperkenalkan (baca : memaksakan) konsep ini ke seluruh dunia, terutama dunia ketiga. Dengan dukungan tanpa batas dari berbagai lembaga keuangan internasional, mereka berkolaborasi dengan para pemimpin rezim korup dari seluruh dunia. Hasilnya, sungguh mengerikan.

Tahun 1997 saja, ada 500 perusahaan papan atas dunia yang mengontrol 70 % perdagangan dunia, dan 1000 perusahaan papan atas dunia menguasai 80% industri dunia. Perusahaan tersebut kebanyakan berasal negara maju, seperti AS, Uni Eropa, dan Jepang. Sebagian besar beroperasi di negara-negara dunia ketiga yang kaya akan sumber daya alam dengan upah buruh yang jauh di bawah standar. Kekuatan kapital yang luar biasa menjadikan mereka sebagai kekuatan monopolis yang sangat dominan. Yang menjadi permasalahan adalah upaya menghalalkan segala cara yang mereka lakukan demi meraup keuntungan yang sebesar-besarnya.

Guna mempertahankan tingkat keuntungan yang maksimal, perusahaan transnasional tersebut menempuh cara antara lain dengan memaksa sebuah negara untuk melaksanakan tiga “tugas suci” : freedom of investment (kebebasan berinvestasi), freedom of capital flows (kebebasan aliran modal), dan freedom of trade in all goods and all service including living organism and intellectual proverty (kebebasan perdagangan untuk semua jenis barang dan jasa termasuk organisme hidup dan aturan seputar hak kekayaan intelektual). Dengan doktrin “trinitas” nya ini, perusahaan-perusahaan tersebut makin leluasa dalam mengakumulasi kapitalnya diseluruh penjuru dunia (Pontoh ; 2003 dalam Adhi ; 2005).

Mereka juga menunggangi berbagai lembaga keuangan internasional dengan berbagai regulasi dan aturan main untuk merampok kekayaan negara berkembang (Stiglizt menyebutnya sebagai rampokisasi sekaligus asingisasi). Untuk itu tidaklah heran bahwa tidak sedikit jabatan-jabatan strategis pada lembaga keuangan internasional yang diisi oleh para CEO –atau mantan CEO-, direksi, atau penasehat perusahaan transnasional. Mereka juga memiliki tim lobi yang pengaruhnya sangat dominan dalam setiap pengambilan kebijakan.

Liberalisasi ekonomi memang telah menjadikan banyak orang dapat hidup dengan standar tinggi. Mereka –terutama di negara-negara maju- memiliki kekayaan material yang fantastis dengan fasilitas serba “wah”. Jumlah mereka cenderung semakin meningkat setiap tahunnya. Tapi tahukah anda, kekayan mereka didapatkan dari keringat, darah, bahkan nyawa jutaan orang miskin yang secara kuantitas juga terus meningkat bahkan sampai berkali-kali lipat. Liberalisme ekonomi dan perdagangan juga menghasilkan ketimpangan global yang teramat parah. Sebagai perbandingan, Healy (2004) melaporkan bahwa kekayaan tiga pengusaha terpandang dunia Bill Gates, Paul Allen, dan Warren Buffet, setara dengan kekayaan yang dimiliki oleh 600 juta orang yang tinggal di 48 negara miskin. Di negara kita, Sukanto Tanoto (orang terkaya Indonesia versi majalah Forbes) memiliki asset sebesar 2,8 miliar US Dolar diantara seratus juta lebih penduduk yang pendapatannya di bawah 2 US dollar perhari. Yang ironis adalah ketika puluhan juta penduduk di negara maju sibuk mengatasi obesitas (kelebihan berat badan), 800 juta orang di seluruh dunia menderita kelaparan, dimana 70 % diantara mereka adalah wanita dan anak-anak.

Sebagai bangsa yang kaya akan sumberdaya, Indonesia juga tidak luput dari pusaran neoliberalisme yang sengaja dirancang oleh para kapitalis barat tersebut. Dengan dalih membantu proses pembangunan, lembaga keuangan internasional (terutama IMF dan Bank Dunia) berlomba memberikan pinjaman (utang) yang sampai saat ini jumlahnya begitu fantastis. Bayangkan, untuk membayar bunganya saja, APBN kita harus terkuras 25 – 30 % setiap tahunnya. Anehnya, pemerintah malah membuat pinjaman-pinjaman baru. Padahal, utang merupakan alat negara imperialis untuk memaksa negara kita untuk tunduk pada setiap keinginan mereka, seperti yang dikatakan oleh John Perkins dalam bukunya, Confession of An Economic Hit Man. Utang itulah yang akhirnya membuat pemerintah tidak memiliki independensi dalam mengelola perekonomian negara.

Hengkangnya IMF ternyata tidak serta merta membuat negara kita mandiri. Yang terjadi adalah IMF sukses menanamkan dogma liberalnya di negeri ini. Pengambil kebijakan –terutama tim Ekonomi- secara sadar maupun tidak telah menjadi perpanjangan tangan IMF. Mereka masih dengan senang hati menggunakan berbagai resep yang sebenarnya adalah racun yang mematikan.

Keadaan semakin hari bukannya membaik, benang kusut pengelolaan ekonomi terasa semakin sulit untuk diuraikan. Berbagai kebijakan yang ada sering malah memperparah keadaan yang sudah sedemikian runyam. Aroma liberalisasi semakin menguat dengan berbagai regulasi yang dirumuskan para birokrat. UU Penanaman Modal yang telah disahkan beberapa waktu lalu dan pernyataan Menteri BUMN hasil reshuffle (yang akan melakukan privatisasi BUMN secara besar-besaran) seakan mentasbihkan bahwa negara kita benar-benar telah mengikuti pusaran neoliberalisme yang dirancang oleh barat (dan orang-orang yang “terbaratkan”). Artinya, mayoritas penduduk negeri ini akan semakin terpuruk dan tersisihkan.

Selain merasakan himpitan hidup yang luar biasa berat karena kesulitan ekonomi akibat tingginya harga berbagai komoditas dan pelayanan, mereka juga harus menerima kenyataan minimnya lapangan kerja yang tersedia. Berbagai potensi kekayaan -yang harusnya dapat mereka nikmati- dikeruk habis oleh para kapitalis dengan legitimasi negara. Ironisnya, arus liberalisasi tidak hanya terhadap bidang yang berkaitan langsung dengan masalah ekonomi, tapi sudah menjalar ke segala aspek. Lembaga pendidikan yang menjadi harapan bagi mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, tidak luput dari target kaum berduit. Pemiskinan struktural seperti ini dikhawatirkan akan menambah jumlah penduduk miskin –yang saat ini saja sudah puluhan juta- secara signifikan. Maka terjadilah apa yang dinamakan dengan percepatan kemiskinan (accelerated poverty). Dan kita harus ingat, social cost yang harus ditanggung untuk itu amatlah besar.

Sekelumit realitas di atas menunjukkan bahwa ke depan, kehidupan masyarakat kita semakin jauh dari sejahtera. Masa depan mereka akan suram (kalau memang mereka masih memiliki masa depan). Negara yang seharusnya memberikan kesejahteraan malah “menghadiahkan” kesengsaraan yang berlipat-lipat. Padahal, demi kesejahteraan itulah negara ini didirikan oleh para pejuang kemerdekaan dan founding father kita.

Untuk itulah, tidak ada jalan lain, pemerintah harus berani merestrukturisasi secara total sistem pengelolaan kekayaan negara yang selama ini sangat diskriminatif dan eksploitatif. Bahwa akar permasalahan tersebut adalah kapitalisasi dan liberalisasi dalam sektor pengelolaan kekayaan negara dan juga sistem pemerintahan yang dijalankan, dengan sistem yang lebih shahih dan relevan.

Disinilah, sistem ekonomi Islam (SEI) dapat menjadi alternatif untuk diterapkan oleh negara. Selain berkebalikan 180 derajat dengan sistem kapitalisme –karena SEI bernuansa transendental, sangat humanis, dan tidak menghalakan segala cara-, juga memiliki legitimasi historis, empiris, dan ilmiah. SEI bertumpu pada sektor riil melalui investasi produktif terhadap barang dan jasa (real based economy), bukan investasi spekulatif melalui sektor non riil (monetary based economy) yang menjadi pilar dasar sistem kapitalisme. Sektor ekonomi non riil secara teoritis dan empiris berpotensi besar untuk meruntuhkan sistem keuangan dan stabilitas ekonomi secara keseluruhan (Harahap ; 2003 dalam Al Jawi ; 2007). Berbagai krisis keuangan dunia –termasuk krisis Asia medio 1997- diawali dari kegoncangan pasar uang dan saham yang memukul sektor riil.

SEI juga bertumpu pada asas kepemilikan serta distribusi barang dan jasa, hal yang selama ini termarjinalkan dalam sistem ekonomi kapitalis. Kebebasan kepemilikan dan buruknya mekanisme distribusi merupakan faktor penyebab ekstrimnya ketimpangan (baik nasional maupun global) yang berujung pada kecemburuan sosial dan pemiskinan struktural oleh negara . Apalagi, kapitalisme sebenarnya telah menuju jurang kehancuran akibat sifat self destructive yang dikandungnya. Cacat bawaan yang sedemikian fatal mengharuskan adanya perombakan revolusioner terhadap sistem kapitalisme, bukan hanya perbaikan parsial dan tambal sulam (Mander, 2004).

Diterapkannya SEI oleh negara bukan hanya akan dapat mengatasi carut marutnya permasalahan ekonomi yang kita hadapi. Lebih dari itu, pelaksanaan SEI oleh individu, masyarakat, dan negara, merupakan amal sholeh yang akan mendapatkan pahala berlipat ganda dari Allah SWT, Insya Allah. Dari sini kita bisa berharap, welfare state bukanlah merupakan utopia seperti perkataan Sosiolog Jerman, Ulrich Beck, yang statement nya saya kutip di atas. Wallahu’alam bis showab.

Oleh : Abahnya Hafidz

*) Pernah dipublikasikan pada rubrik opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 11 Juli 2007.