PERSOALAN PEMIMPIN DAN SISTEM


Menjelang dilaksanakannya hajatan besar berupa Pemilu 2009 yang tinggal beberapa minggu lagi, berbagai parpol jauh-jauh hari telah melakukan manuver untuk merebut hati konstituen. Tak ketinggalan, mereka yang berambisi menduduki kursi R-1.
Bahkan, manuver yang dilakukan terlihat lebih canggih dengan bumbu pragmatisme yang dominan. Bargaining politik terjadi begitu intens diantara para tokoh, termasuk parpol yang mengusung sang tokoh. Berbagai pertemuan dilakukan sebagai sarana komunikasi, penyamaan visi dan misi, sampai penjajakan untuk melakukan koalisi.
Selain itu, mekanisme penjaringan calon presiden yang disebut sebagai konvensi terus dilakukan. Konvensi calon pemimpin bukan hanya dilakukan oleh partai politik, tapi juga gabungan parpol bahkan oleh individu tokoh.
Meski keadaan negeri ini carut marut, para calon pemimpin tersebut tampak terlihat begitu siap untuk menjadi problem solver. Bahkan, tidak sedikit yang menawarkan solusi “membius” sehingga muncul kesan; persoalan akan selesai ketika sang tokoh memegang tampuk kepemimpinan. Ini misalnya terlihat secara eksplisit pada iklan-iklan politik yang saat ini begitu gencar dilakukan.
Dengan sangat percaya diri mereka mengatakan akan mensejahterakan petani dan nelayan, menciptakan jutaan lapangan kerja baru, menurunkan harga sembako, termasuk pamer prestasi agar sang tokoh terpilih kembali. Yang menggelikan, ada tokoh yang mencalonkan diri sebagai calon pemimpin karena merasa dipaksa oleh keadaan. Sang tokoh merasa dialah figur yang paling tepat dan kredibel untuk memperbaiki kondisi bangsa saat ini. Pertanyaan sederhana, mampukah mereka mewujudkan janji-janjinya seandainya terpilih nanti?
Penyebab utama dari tingginya angka golput (baik pilkada maupun pemilu yang telah lewat) sebenarnya berasal dari perilaku para calon yang telah terpilih, baik di legislatif maupun eksekutif. Janji yang mereka gembar-gemborkan saat kampanye bak hilang ditelan angin. Alhasil, masyarakat merasa tertipu dan akhirnya enggan untuk berpartisipasi dalam pemilihan berikutnya.
Sementara di sisi lain, para pemimpin atau pejabat publik ini juga seperti menghadapi sebuah tembok besar dan kokoh untuk melaksanakan janji-janji kampanyenya. Panggung pemerintahan ternyata tidak lebih hanya sebagai arena tawar menawar politik. Idealisme sang pemimpin akhirnya luntur ketika berhadapan dengan realitas sistemik yang hanya memberikan dua pilihan ekstrim ; tetap bertahan dengan menggadaikan idealisme atau tersingkir dari jabatan yang dipegang. Sungguh dua pilihan yang kejam. Tapi itulah realitas yang harus dihadapi oleh setiap orang yang kadung menjadi pejabat publik.
Secara teoritis, sistem demokrasi memang memberikan peluang seluas-luasnya bagi seluruh warga negara untuk menduduki jabatan di pemerintahan. Tak peduli darimanapun ia berasal bahkan bagaimanapun track record-nya (termasuk para mantan terpidana korupsi yang ingin kembali ”tampil”). Hanya saja, jalan menuju panggung kekuasaan tidaklah mulus. Sang calon akan menghadapi beragam ujian. Ibarat sekolah, semakin tinggi jenjang pendidikan, maka semakin sulit pula tingkat kesulitan soal yang akan dihadapi. Seorang yang ingin menjadi presiden harus berkorban lebih besar daripada sekedar menjadi bupati atau gubernur.
Bentuk pengorbanan tersebut mencakup segala hal. Sebagian besar waktu, tenaga, dan fikiran digunakan untuk kampanye dan konsolidasi. Dana besar juga digelontorkan untuk berbagai keperluan semisal belanja iklan, operasional lapangan, dst. Dari sini kita bisa melihat bahwa hanya orang-orang yang punya modal (dana, jaringan,pengalaman, dst) yang mampu untuk menduduki kursi kepemimpinan.
Masa sosialisasi dan penggalangan dukungan (misalnya dalam bentuk kampanye) sebenarnya merupakan awal dari proses tawar menawar politik antar elit. Inilah panggung pertama untuk menguji sejauh mana komitmen sang calon dalam memegang prinsipnya. Tidak jarang, besarnya tekanan membuatnya mulai berfikir pragmatis. Ketika suara partainya tidak memenuhi ”angka aman”, maka koalisi menjadi satu-satunya pilihan.
Koalisi adalah take and give, menerima dan memberi. Visi, misi, dan tujuan dari setiap partai atau capres akan disesuaikan dan dikompromikan agar selaras atau setidaknya tidak terlalu jomplang dengan calon lainnya. Koalisi juga menyangkut ”siapa mendapatkan apa”. Maka ketika jabatan sudah dipegang, yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan.
Dalam perjalanannya, karena perbedaan kepentingan, intrik politik antar pejabat di semua level akan sering terjadi. Proses kompromi yang tidak terlalu kokoh membuat para elit dan juga parpol mulai memperlihatkan ego dan superioritasnya. Kalau sudah begitu, urusan rakyat bukan lagi perkara utama. Terjadi polarisasi kekuatan berdasarkan golongan politik bahkan berujung pada upaya pembunuhan karakter bagi lawan politik masing-masing. Kondisi ini semakin vulgar menjelang masa pemilihan seperti saat ini.
Selain itu, mafhum difahami bahwa kursi kepemimpinan bukanlah barang murah. Dapat dipastikan, seseorang yang menjadi pemimpin terutama presiden telah mengeluarkan biaya super besar untuk berbagai keperluan. Disinilah berbagai anasir (terutama kelompok bisnis) ikut menjadi penentu.
Dalam pespektif bisnis, bantuan dana tersebut merupakan sinonim dari modal untuk meraih keuntungan maksimal nantinya. Tidak heran, diberbagai negara para pemilik modal berperang penting –bahkan dominan- dalam setiap pengambilan kebijakan eksekutif. Munculnya UU liberal yang menguntungkan segelintir orang seperti UU SDA, UU PMA, UU BHP, adalah sebagian buktinya.
Melihat kondisi tersebut, maka sudah sewajarnya agar para calon pemimpin (presiden) untuk tidak terlalu mudah menggembar gemborkan janji-janji muluk kepada masyarakat. Ibarat seorang pengemudi yang menjalankan sebuah mobil, mereka dihadapkan pada realitas bahwa mobil yang mereka kendarai tidak dalam kondisi prima. Terjadi kerusakan dihampir setiap komponen mobil tersebut.
Meskipun memiliki kemampuan menyetir yang mumpuni, mereka tetap akan kesulitan untuk membawa para penumpang mobil ke tempat tujuan. Bukan tidak mungkin, para penumpang yang gerah akan melakukan ”kudeta”. Para penumpang menganggap sang pengemudi tidak mampu mengendalikan mobilnya.