OBAMA, DEMOKRASI, DAN CORPORATOCRACY


Kemenangan senator asal Illinois Barack Obama dalam pilpres Amerika Serikat telah memunculkan histeria publik yang luar biasa. Lebih dari 200 ribu orang memadati Grant Park Chicago, untuk menjadi saksi langsung pidato kemenangan Sang Presiden baru. Tepuk tangan meriah terus membahana disertai yel-yel “Yes, we can!”. Beberapa bulan setelahnya, ratusan ribu orang kembali tumpah ruah di Washington DC untuk menyaksikan proses inagurasi (pelantikan) Presiden AS ke 44 itu.
Besarnya ekspektasi terhadap Obama membuat euforia keberhasilannya tidak terbatas hanya di AS apalagi Chicago sebagai kandang Partai Demokrat. Jutaan orang diberbagai tempat dengan jarak ratusan mil dari Chicago turut bersuka cita bahkan berpesta. Di tempat kelahiran ayahnya di Kenya, foto Obama terpampang hampir disetiap sudut jalan protokol. Masyarakat negeri ini juga merasa memiliki hubungan emosional disebabkan Obama kecil pernah tinggal di kawasan Menteng, Jakarta.
Obama dan Corporatocracy
Corporatocracy adalah Pembentukan kekayaan baru dengan pendukung gerakan global untuk menundukkan suatu negara, kedalam tekanan dari korporasi (koalisi bisnis dan politik antara pemerintah, perbankan, dan korporasi) (Wikipedia.org). Dengan kata lain, corporatocracy merupakan simbiosis mutualisme antara penguasa dan pengusaha dalam perumusan kebijakan suatu negara.
Lantas, apa hubungan antara Obama dengan Corporatocracy? Relevankah kita menyandingkan seorang presiden yang penuh ambisi dan humanis ini dengan sebuah sistem politik yang bercirikan adanya hegemoni dan eksploitasi terhadap yang lain? Bukankah Obama merupakan simbol toleransi dan kebebasan (demokrasi)? Perlu difahami bahwa Amerika adalah negara adidaya yang mengemban ideologi tertentu. Keruntuhan Uni Soviet dengan ideologi sosialisme komunismenya merupakan awal dari dominasi ideologi kapitalisme yang merupakan trademark Amerika dan sekutu baratnya.
Ciri dari ideologi kapitalisme yang utama adalah kebebasan. Kebebasan bagi setiap warga dalam berpendapat dan menentukan berbagai hal, yang lebih dikenal dengan demokrasi, menjadi sebuah ilusi indah warga dunia ketika Obama menjadi pemimpin AS. Mereka berharap Amerika dan Dunia menjadi lebih stabil, damai, dan bermartabat. Padahal, demokrasi inilah yang menjadi akar permasalahan berbagai krisis yang melanda dunia. Ongkos demokrasi yang begitu mahal membuat para politisi opurtunis diberbagai negara tunduk kepada keinginan pemilik modal. Fakta empiris juga menunjukkan demokrasi bukanlah prasyarat untuk menuju masyarakat yang adil dan sejahtera. Sebaliknya, demokrasilah yang membutuhkan kemakmuran.
Sebagai informasi, Obama merupakan capres yang paling banyak mengeluarkan dana kampanye dalam sejarah Amerika. Di bulan Oktober saja Obama harus membayar 100 juta dolar untuk kampanye televisinya. Sebagian besar donasi yang ia terima berasal dari para korporasi raksasa Negeri Paman Sam.
Dengan demikian, sulit mengharapkan Obama dapat “berkreasi” sebebasnya karena besarnya “bantuan” para pemilik modal pada saat kampanye. Dia akan tetap melakukan politik balas jasa sebagaimana halnya Bush yang menyerang Irak karena desakan korporasi minyak raksasa AS. Hanya saja, caranya lebih halus misalnya dengan melakukan pendekatan multilateral terhadap berbagai isu internasional (tentunya demi kepentingan AS juga), serta melakukan politik pencitraan dengan melakukan pendekatan soft power terutama di negara-negara dunia ke tiga
Pemerintahan Obama akan terus melanjutkan kebijakan liberalisasi ekonomi yang telah dilakukan oleh para pendahulunya dengan membuat prakondisi agar setiap negara meratifikasi perjanjian internasional serta perumusan UU bernafas kapitalisme, demi kepentingan perusahaan-perusahaan AS. Padahal, kapitalisme merupakan akar berbagai bencana dahsyat yang menimpa umat manusia, termasuk krisis keuangan global 2008 yang membuat sektor ekonomi riil babak belur.
Sementara itu, demokrasi menjadi alat bagi Amerika untuk menghegemoni dunia sekaligus memaksakan kehendaknya. Mereka tak segan-segan mengintervensi negara lain atas nama HAM dan demokrasi. Meski mengklaim diri sebagai negara yang paling demokratis, mereka berperan sebagai penyokong utama kepemimpinan rezim beberapa negara Timur Tengah yang notabene tidak demokratis (otoriter) hanya karena kooperatif dengan AS. Inilah standar ganda mereka.
Salah satu kebijakan Obama yang kontroversial adalah dukungan penuhnya terhadap setiap sepak terjang negara zionis Israel. Semua orang tahu, Israel adalah negara teroris yang menjadi mesin pembunuh bagi warga Palestina, termasuk agresi brutal Israel ke gaza yang membuat 1000 lebih warga Palestina syahid. Obama juga melakoni pepesan kosong karena hanya merelokasi tentaranya dari Irak ke Afghanistan. Kampanya perang melawan teror yang terbukti sangat menyengsarakan khususnya bagi umat Islam, tetap akan menjadi agenda utama kebijakan luar negeri AS di bawah kepemimpinan Obama
Bagaimanapun, Obama hanya salah satu dari sekian banyak elemen yang menentukan wajah Amerika. Ada kongres atau senat, pers dan media massa, kelompok lobi, dan tentu saja para pemilik modal. Hanya saja, kapitalisme memang pandai mengkamuflase para pemilik modal ini sehingga keberadaannya kurang disadari dalam aktifitas kekuasaan dan pengambilan kebijakan. Nah, para pemilik modal inilah yang menjadi penguasa sebenarnya dari sebuah sistem corporatocracy ala Amerika.
Masihkah kita berharap pada Obama?