
Dapat dipastikan, dalam beberapa waktu terakhir ini Presiden Bush tidak akan bisa tidur nyenyak. Bukan karena perlawanan para gerilyawan di Irak dan Afghanistan yang kian agresif, atau manuver Rusia yang mengancam hegemoni Amerika di Kaukasus. Tapi lebih dari itu, Amerika sekarang berada di jurang kebangkrutan (collapse).
Para juragan berdasi, pemilik berbagai megakorporasi yang merupakan “pemain utama” dalam ekonomi negeri Paman Sam itu, satu persatu berjatuhan. Kapitalisme yang selama ini kelihatan begitu gagah, ternyata hanyalah sesosok zombie mengerikan yang tinggal menunggu kematian.
Seperti yang telah marak diberitakan, pasar saham –yang merupakan pilar utama sistem ekonomi kapitalis- terjun bebas ke level “membahayakan”. Bursa utama dunia mengalami kerontokan akibat aksi para spekulan saham. Dalam suasana yang penuh kepanikan, mereka melakukan aksi jual saham (selling) secara besar-besaran untuk meminimalisasi kerugian. Bahkan, aktifitas Bursa Efek Jakarta harus dihentikan sementara (suspend) untuk mencegah kejatuhan indeks yang lebih parah, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya bahkan ketika krisis moneter di tahun 1997/1998 melanda Indonesia.
Kerontokan bursa saham dunia terjadi menyusul laporan tentang akan terjadinya kehancuran pasar global (Global Market Crash). Surat kabar Inggris Telegraph (19/6/2008) memberitakan peringatan analis Royal Bank of Scotland (RBS) bahwa bursa global akan mengalami goncangan dalam tiga bulan ke depan sebagai akibat tingginya tingkat inflasi dunia
(Muttaqin, 2008).
Hanya dalam satu pekan, Bursa Saham New York telah kehilangan nilai saham sebesar 2,4 triliun dollar AS, dan 8,4 triliun dollar sepanjang tahun 2008. Indeks Dow Jones Industrial Average merosot 18 % dalam sepekan terakhir. Sementara indeks saham teknologi Nasdaq anjlok ke level “psikologis” (Kompas, 12/10/2008). Bursa saham utama dunia seperti FTSE 100, CAC 40, DAF 30 Frankfurt, Euro stoxx, Hangseng, Nikkei, mengalami gejala serupa.
Berbagai perusahaan yang listing di pasar modal telah menjadi tumbal. Setelah Citigroup, disusul Bear Stearns (yang “diselamatkan” oleh JP Morgan), sampai Lehman Brothers yang akhirnya bangkrut setelah beroperasi selama 150 tahun. Diprediksi, akan semakin banyak perusahaan yang bernasib sama.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh oleh Bank Sentral. Di Amerika, DPR akhirnya mengesahkan undang-undang dana talangan (bailout) 700 miliar dollar kepada para konglomerat, serta membeli surat berharga sebesar 900 miliar dollar. Tak pelak, langkah ini memunculkan protes keras dari berbagai kalangan masyarakat yang terusik rasa keadilannya. Duit negara sebesar itu digunakan Pemerintahan Bush untuk menolong para eksekutif serakah yang sedang megap-megap.
Sementara pemerintah Inggris menyuntikkan dana ke pasar senilai 500 miliar poundsterling, dengan menjamin semua utang Bank yang beroperasi di negeri ratu Elizabeth itu. Langkah serupa juga dilakukan oleh Jerman, Rusia, dan negara-negara lainnya.
Banyak fihak mengkhawatirkan akan terjadinya resesi ekonomi global. Hal ini sangat beralasan mengingat dominasi kapitalisme yang begitu kuat dan mengakar di seluruh dunia. Akibat sistem yang begitu rapuh dan terbuka, krisis yang terjadi di Amerika –sebagai kiblat keuangan dunia- akan cepat menjalar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Apakah great depression seperti yang terjadi di tahun 30-an akan kembali terulang?
Menatap Ekonomi Syariah
Tidak sedikit kalangan yang menilai bahwa kapitalisme saat ini telah meluncur menuju jurang kehancuran. Harry Shutt menyebutkan bahwa kapitalisme kini sedang mengalami “gejala-gejala utama kegagalan secara sistemik.” Misal : semakin lesunya pertumbuhan ekonomi dan semakin seringnya krisis keuangan (al-Jawi, 2007).
Gejolak sektor finansial sudah teramat sering terjadi. Gejala ini akan senantiasa berulang akibat fundamental ekonomi rapuh yang diciptakan oleh kapitalisme.
Dalam konteks ini, ekonomi berbasis syariah sangat layak untuk muncul ke permukaan. Dalam perspektif ekonomi syariah, kegiatan ekonomi bertumpu pada sektor riil (real based economy). Keuntungan yang diraih murni dari hasil jerih payah nyata dari produksi barang dan jasa. Investasi spekulatif melalui sektor non riil, misalnya melalui kredit perbankan, serta jual beli surat berharga seperti saham dan obligasi tidak diakui eksistensinya karena adanya unsur riba, perjudian, jauh dari rasa keadilan, serta berpotensi menghancurkan sistem ekonomi secara keseluruhan. Inilah yang terjadi sekarang. Kebangkrutan berbagai perusahaan telah membuat aktifitas ekonomi menjadi lesu dan jutaan orang kehilangan pekerjaan. Dalam laporan terbarunya, WHO memperkirakan bahwa resiko bunuh diri dan penyakit mental akibat krisis keuangan akan meningkat.
Perbedaan mendasar sistem ekonomi syariah dengan sistem ekonomi kapitalis lainnya adalah dalam hal currency (mata uang). Sejak berakhirnya sistem Bretton woods yang mengaitkan dollar dengan persediaan emas, sejak tahun 70-an Federal Reserve (Bank sentral Amerika) telah mencetak secara besar-besaran mata uang dollar untuk transaksi perdagangan dunia. Artinya, nilai dollar berlaku hanya dengan mengandalkan trust sehingga mengalami inflasi permanen. Nilainya berfluktuasi seiring dengan berbagai gejolak dan konstelasi yang terjadi.
Sementara mata uang Islam (yang bersandar pada emas dan perak) sangat kecil kemungkinan mengalami inflasi. Orang bisa membeli seekor kambing seharga 1 dinar (4,25 gram emas) di masa Rasulullah. Dengan harga yang kurang lebih sama, orang bisa mendapatkan seekor kambing pada masa sekarang ini (al Jawi, 2007). Mata uang emas dan perak memiliki nilai intrinsik sehingga relatif stabil dan tahan banting akan berbagai tekanan dan gejolak yang terjadi di sekelilingnya.
Kebijakan ekonomi perspektif islam juga akan mencegah negara untuk membiayai pembangunan dengan utang luar negeri. Selain karena adanya unsur riba, utang luar negeri telah secara nyata menjadi alat negara-negara kapitalis untuk mendikte setiap kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Islam jelas mengharamkan semua sarana yang dapat menimbulkan mudharat (bahaya) bagi orang banyak.
Dipublikasikan pada rubrik Opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 23 Oktober 2008