BATUBARA MILIK RAKYAT


”Tambang-tambang yang tidak memberikan kontribusi ke masyarakat, sebaiknya ditutup saja. Perusahaan boleh tetap beroperasi, asalkan masyarakat benar-benar mendapatkan berkah. Seperti pendidikan dan kesehatan gratis, jalan mulus atau kesejahteraan yang memadai,” tegas Ade Daud Nasution saat tim kunker Komisi VII mengunjungi kantor Distamben Kalsel baru-baru ini.

Sungguh kasihan mayarakat Kalsel. Meski kandungan buminya melimpah, mayoritas rakyatnya masih hidup miskin. Jutaan ton bahan tambang –terutama batubara- yang diproduksi setiap tahunnya ternyata tidak berkorelasi positif dengan penurunan jumlah pengangguran apalagi kemiskinan. Padahal, aktifitas penambangan batubara merupakan sebuah revolusi besar bagi daerah ini, terutama bagi masyarakat dan lingkungan alam disekitar area tambang.
Fakta yang mengagetkan adalah bahwa kontribusi sektor pertambangan terhadap penyerapan tenaga kerja amatlah kecil, yaitu kurang dari 3 % dari seluruh angkatan kerja yang ada. Bagaimana mungkin kemiskinan akan teratasi sementara mayoritas masyarakat nyaris tidak memperoleh manfaat langsung dari eksistensi berbagai perusahaan tambang yang selama ini beroperasi.
Sungguh, hal ini berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan “prestasi” berbagai perusahaan pertambangan dalam mengeksplotasi emas hitam di Bumi Lambung Mangkurat. Data menunjukkkan produksi batubara kalsel selalu meningkat setiap tahunnya. Untuk tahun 2007 kemaren telah dihasilkan lebih dari 78 juta ton batubara. Sebanyak 52 juta ton diantaranya diekspor. Sementara harga batubara di pasar internasional telah menunjukkan tren positif bahkan diprediksi akan terus naik karena tingginya demand. Oleh karena itu, potensi pendapatan dari penjualan batubara ini benar-benar fantastis. Sebagai contoh, apabila harga batubara kualitas sedang (5500-5600 kilo kalori) sebesar 35 US dollar per ton (sinarharapan.co.id), maka total pendapatan dari hasil penjualan batubara minimal 94,64 miliar US dollar. Kalau dirupiahkan, akan mencapai angka triliyunan ! Padahal, itu hanya pendapatan di tahun 2007 saja.
Sayang, batubara didaerah yang kaya ini nyaris semuanya dimiliki oleh para businessmen, dari urang sugih lokal sampai megakorporasi yang memiliki jaringan internasional.
Luas area tambang Kuasa Pertambangan di daerah ini juga sudah habis dikapling-kapling (banjarmasinpost.co.id). Terkait luas area pertambangan, Kadistamben Kalsel Ali Muzani mengungkapkan saat ini di Kalsel terdapat 446 perusahaan kuasa pertambangan, sementara luas ijin yang dikeluarkan mencapai 228.566,25 ha, luas bukan tambang 8.810,22 ha, reklamasi, 6.239,57 ha, revegetasi, 3.431,54 ha dan untuk sarana-prasarana 1.444,01 ha (www.dpr.go.id).
Royalti batubara yang masuk kas daerah juga sangat memperihatinkan. Siapapun pasti akan geleng-geleng kepala menyaksikan angka Rp. 69,8 milyar yang masuk kas pemerintah daerah, sementara 2,8 triliyun nyelonong ke berbagai perusahaan pengeruk batubara. Angka ini akan semakin tidak berarti apabila kita menyoroti berbagai dampak buruk dari aktifitas eksploitasi emas hitam ini.
Terjadinya berbagai bencana alam telah membuat rakyat menderita, baik secara psikologis maupun sosiologis. Mereka bukan hanya kehilangan harta yang jumlahnya sampai ratusan juta, tapi kehilangan orang-orang tercinta. Bagi yang pulang ke daerah Hulu Sungai, akan mengalami travel syndrome akibat kemacetan, debu batubara yang membayakan kesehatan, sampai kecelakaan tragis akibat angkutan batubara yang “merajai” jalan negara.
Kita akan semakin geram karena daerah yang kaya batubara ini mengalami krisis listrik akibat minimnya pasokan. Selain lebih suka diekspor, kualitas batubara yang disuplai ke PLN ternyata turut andil mempercepat kerusakan tenaga pembangkit. Sungguh ironis.
Kembalikan Milik Rakyat
Batubara terbentuk setelah jutaan tahun akibat proses pelapukan geologis dan kimiawi berbagai tumbuhan purba. Batubara merupakan sumber energi yang sangat penting untuk menggerakkan sektor sekunder seperti industri dan pembangkit listrik. Alhasil, batubara dapat menjadi andalan dalam mengakselerasi roda perekonomian daerah ini. Dengan sistem pengelolaan yang benar, maka emas hitam ini benar-benar akan menjadi berkah bagi penduduk Kalsel.
Dengan proses pembentukan yang sangat lama serta jumlah yang melimpah (deposit batu bara Kalsel sekitar 5,6 milyar ton), sudah selayaknya batubara dikelola dengan paradigma kerakyatan. Masyarakat harus merasakan manfaat yang nyata dari keberadaan barang tambang ini. Menyerahkan pengelolaan kepada para investor –apalagi dengan royalti dan pajak seadanya-, tentu bukanlah hal yang bijak. Bahkan merupakan bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Dalam permasalahan pengelolaan SDA ini, Nabi kita Muhammad SAW pernah bersabda dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud, “Kaum muslimin berserikat (bersama-sama mengambil manfaat) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput, dan api.” Anas meriwayatkan hadits tersebut dengan menambahkan kalimat “dan harganya haram.” Kata an-naar (api/energi) termasuk diantaranya adalah bahan tambang (An Nabhani, 2002). Maknanya, batubara yang jumlahnya melimpah harus dikelola negara demi kesejahteraan rakyat.
Berbagai regulasi yang selama ini sangat berfihak kepada para pemilik modal harus sesegeranya dirombak. Alangkah anehnya kalau UU Pertambangan, UU penanaman modak, dan UU bercorak kapitalis lainnya masih dipertahankan, sementara berbagai kerusakan yang diakibatkannya sudah sedemikian nyata. Para stakeholder daerah maupun pusat mesti memiliki keberanian untuk melakukannya.