POLITIK KEPENTINGAN DAN KEPENTINGAN POLITIK


Ketika politik dimaknai sebagai cara untuk memperoleh serta mempertahankan kekuasaan, maka praksis politik yang terjadi akan senantiasa bermuara pada tarik menarik kepentingan dari para elit politik. Politisi dan pengambil kebijakan akan disibukkan oleh berbagai interest individual maupun kelompok yang berakibat pada terabaikannya urusan-urusan yang terkait dengan hajat hidup orang banyak. Alhasil, secara sadar atau tidak, mereka telah mengkhianati amanah yang telah diberikan oleh rakyat. Lantas, masih pantaskah mereka menyandang gelar wakil rakyat, penyambung suara rakyat, pengurus urusan rakyat, sementara apa yang disuarakan, diperjuangkan, dan keputusan yang diambil bukanlah aspirasi para konstituen mereka?

Tema politik sangat menarik dan urgent untuk diperhatikan setidaknya karena satu hal, politik menyangkut nasib orang banyak. Kebijakan yang diambil oleh elit politik negeri ini memiliki implikasi massif serta berantai. Ketika pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM, kondisi kehidupan tiba-tiba berubah. Yang paling merasakan perubahan tersebut tentunya warga yang memiliki kehidupan serba pas-pasan. Meroketnya harga berbagai kebutuhan pokok serta pelayanan adalah mimpi buruk mayoritas masyarakat Indonesia, ditengah impian untuk menuju kehidupan yang lebih baik.

Sebenarnya, masyarakat menyimpan jutaan asa kepada para penguasa negeri ini. Ditengah tingginya kesulitan hidup, toh mereka masih memiliki kesabaran untuk terus berharap. Mereka mungkin tidak mengenal teori welfare state, asing akan istilah clean and good governance, perdagangan bebas dan globalisasi, dsb. Tapi yakinlah, berbagai istilah “canggih” tersebut tidak memiliki arti apapun kalau tidak membuat kehidupan mereka lebih sejahtera.

Ironisnya, ditengah tingginya harapan masyarakat tersebut, para elit politik negeri ini sibuk dengan interest masing-masing. Para politisi partai (termasuk di legislatif) saling gontok-gontokan, bukan untuk kepentingan rakyat, tapi karena dialektika politik yang mengharuskan adanya penguasa dan kaum oposan. Berbagai manuver diperlukan demi eksistensi, kontinuitas, dan kalau perlu simpati. Sementara itu, intrik Pilkada yang tak kunjung selesai semakin memperlihatkan begitu kuatnya cengkeraman politik kepentingan menggerogoti para elit. Saling tuding, saling curiga, saling tuntut, bahkan saling serang mewarnai proses pemilihan di berbagai daerah. Para pendukung bahkan terlibat aksi anarkis.

Karena merupakan karier menjanjikan, jabatan publik pun jadi rebutan. Sekarang, semua orang dapat menjadi pejabat publik. Fenomena artis terjun kedunia politik adalah salah satu buktinya. Masyarakat kembali digiring untuk memilih “ketokohan”dan “kepopuleran”, bukan kompetensi dan kapabilitas. Selain itu, sistem politik di negara kita kerap menghasilkan politisi yang opurtunis dan pragmatis.

Demi mengejar ambisi, koalisi dan kolaborasi pun dilakukan. Dulunya rival, sekarang kawan. Perbedaan platform sampai karakter ideologis ternyata bukanlah aral demi mengejar satu tujuan, yaitu kepentingan kelompok/partai. Adagium politik menyatakan, tidak ada kawan sejati, tidak ada musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi.

Kepentingan politik jangka pendek telah menghilangkan batas-batas nilai. Banyak pejabat yang main mata untuk mengejar kepentingan sesaat, baik untuk mendapatkan jabatan politik, mempertahankan posisi, atau menambah pundit-pundi. Sudah menjadi rahasia umum, lembaga-lembaga tinggi negara sering menjadi lumbung suap dan korupsi. Demi setumpuk materi, mereka rela menggadaikan harga diri. Terbongkarnya kasus mafia peradilan serta dugaan suap di Kejagung terkait megakasus skandal BLBI, merupakan bukti betapa bobroknya mental pejabat yang notabene faham dan melek tentang hukum.

Pragmatisme politik juga telah membuat pejabat publik kehilangan kepekaan terhadap kondisi riil rakyat. Para pengambil kebijakan lebih merasa prihatin dengan angka-angka investasi yang semakin menurun, sementara data orang miskin yang semakin membengkak luput dari perhatian, bahkan terkesan kurang dihiraukan. Indikator makro ekonomi -yang sebenarnya tidak mencerminkan tingkat kesejahteraan rakyat- menjadi acuan dan dijadikan tolak ukur kinerja pembangunan. Alhasil, kebijakan yang diambil lebih memihak pada segelintir elit pemilik modal. Apalagi, pemilik modal memang berperan besar dalam proses penentuan posisi pejabat publik. Mereka menanamkan cost yang tidak sedikit untuk melakukan “investasi politik” demi keberlanjutan bisnis.

Saatnya Berubah

Praktik penyelenggaraan negara yang baik mesti dimulai dengan pemahaman yang benar mengenai politik. Tugas utama dari pengambil kebijakan adalah memberikan pelayanan terbaik demi terwujudnya cita-cita masyarakat adil dan makmur. Ingatlah, nasib ratusan juta penduduk negeri ini ditentukan oleh segelintir orang yang bernama pejabat publik. Langkah politik yang diambil seharusnya didasarkan pada kepentingan kolektif, bukan kepentingan individu pejabat, partai, apalagi para “penyandang dana”.

Para pejabat publik adalah orang-orang pilihan yang seyogyanya memiliki integritas sekaligus kapabilitas. Hanya saja, hal tersebut akan sulit dicapai apabila sistem yang ada tidaklah ideal. Realitas menunjukkan sistem inilah yang menentukan “warna” orang-orang yang berkecimpung didalamnya. Berapa banyak orang-orang bersih yang akhirnya menjadi tumbal politik karena buruknya mekanisme sistem penyelenggaraan negara yang dianut bangsa kita. Untuk itulah, semestinya kita tidak apriori dengan wacana fundamental berupa perubahan sistem bernegara. Solusi yang tidak mendasar hanya akan membuat kita kembali jatuh pada lubang yang sama.

Dipublikasikan pada rubrik Opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 15 Juli 2008