
KEBANGKITAN Nasional Indonesia dicetuskan pada 20 Mei 1908. Semangat membaja untuk bangkit itu dimulai dari kesadaran, yakni untuk melompat dari keterkungkungan kepada kemerdekaan bermartabat.
Dapat dibayangkan, lebih 300 tahun sudah penjajahan saat itu menggebiri pola pikir dan mental rakyat Indonesia. Bagi rakyat biasa, mungkin kehinaan dan penderitaan itu diterima tanpa daya sebagai hal yang sudah lumrah.
Bagi elit dan terpelajar, memiliki paling sedikit dua alternatif, yakni bersikap cari aman (comfort) sebagai pengkhianat atau berjuang melawan penindasan.
Pada akhirnya, sejarah membuktikan, kemerdekaan hanya bisa direbut karena adanya pejuang sejati dengan sikap dan jati diri yang tegas melawan penjajahan.
Urgensi kebangkitan dalam ekonomi ternyata sangat relevan saat ini. Kondisi ekonomi Indonesia berada di bawah penjajahan yang nyata. Secara historis, penjajahan ini dapat ditelusuri dengan gamblang. Praktik pembangunan negara di dunia yang disponsori lembaga-lembaga kerjasama internasional, didominasi model aliran modernist-developmentalist.
Salah satu rujukannya adalah teori big push, bahwa lingkaran kemiskinan hanya bisa diputus melalui dorongan besar berupa modal segar dari negara maju. Lahirlah ideologi hutang, dimana negara berkembang tidak percaya diri membangun tanpa hutang. Dimulailah era banjir hutang yang makin hari makin dalam menenggelamkan. Dengan utang pula era penjajahan melalui ekonomi dimulai.
Strategi pembangunan, prioritas investasi, dan ukuran kinerja ditentukan oleh lembaga-lembaga donor melalui saran-saran yang diberikan. Meskipun hanya saran namun wajib dilaksanakan sebagai syarat cairnya pinjaman yang telah dijanjikan.
Seluruh kerja sama (yang tidak seimbang) tersebut dibuat dalam kerangka melanggengkan ketergantungan dan jaminan eksploitasi oleh negara maju.
Malangnya, penentu kebijakan di Indonesia memakan mentah-mentah segala saran tersebut. Dampak hilangnya kemandirian, rapuhnya bangunan ekonomi, sosial, politik dan lingkungan menjadi hal yang lumrah.
Sejalan dengan makin tingginya interaksi antarnegara, ekspansi perusahaan multinasional merajalela tak terbendung. Dengan memanfaatkan lembaga-lembaga ekonomi dan forum internasional seperti IMF, World Bank, WTO, APEC dan sebagainya, mereka membuat semua negara tunduk pada paham neoliberalisme.
IMF dan World Bank, seperti ditulis Stiglitz, bahu-membahu mengusung neoliberalisme dan neokolonialisme di muka bumi dengan dibuatnya Konsensus Washington bersama Departemen Keuangan AS pada 1980-an.
Konsensus mengamanatkan IMF dan World Bank memaksa semua negara menerapkan tiga strategi pokok globalisasi, yakni stabilitas makro, liberalisasi, dan privatisasi. Ketiga hal ini tidak ada hubungannya dengan usaha memakmurkan rakyat, malah lebih menambah keterpurukannya.
Indonesia begitu ‘keranjingan’ dengan globalisasi meski daya saingnya sangat rendah. Pemerintah mengimani model neoliberal sebagai model puncak yang menguasai dunia hingga akhir zaman. Sebagai bukti, segala kebijakan ditujukan untuk menyukseskan berlakunya liberalisasi.
Modal asing adalah cita-cita dan impian bagi pertumbuhan ekonomi. Di tingkat masyarakat, hibah dari lembaga internasional adalah gula-gula termanis bagi LSM. Mereka menjadi operator misi-misi internasional tanpa pernah mengkaji (ulang) tujuan apa di belakangnya.
Hal ini wajar terjadi karena pihak asing memang selalu memiliki para komprador (antek) pribumi yang siap melicinkan jalan penjajahannya.
Peningkatan kemakmuan tak akan terwujud jika kita terjajah. Karena itu, membangkitkan ekonomi saat ini serupa dengan urgensi kebangkitan bangsa pada 1908.
Meski demikian, tidak semua orang sadar dan percaya sedang berada dalam penjajahan. Hal ini dibuktikan dengan gencarnya kebijakan menggadaikan sumber daya alam dan aset negara kepada asing, melakukan privatisasi dan menghapuskan subsidi.
Entah, apakah ini hanya langkah pragmatis pemerintah, namun semua itu sudah terdokumentasi dalam berbagai peraturan, misalnya UU Migas, UU Penanaman Modal, UU Kelistrikan, RPJM Nasional, dan sebagainya. Artinya neoliberalisme sudah menjadi platform ekonomi Indonesia. Kesemuanya itu untuk melanggengkan penjajahan dan menjongoskan bangsa Indonesia sendiri.
Sistem neoliberal dan segala penjajahannya adalah inti persoalannya. Karena itu, membangkitkan ekonomi rakyat harus dimulai dengan penggantian sistem yang salah ini. Tanpa itu, seribu macam usulan solusi hanya akan menjadi basa-basi belaka.
Pembenahan berbagai persoalan parsial, seperti pendapatan, produksi dan struktur ekonomi, fiskal dan struktur kepemilikan tak akan berjalan efektif.
Sekali lagi, untuk membangkitkan ekonomi kita harus dapat membebaskan diri dari penjajahan. Untuk itu diperlukan ketegasan jati diri dan sikap berani untuk melawan.
Syahrituah Siregar, SE, MA
Dosen Fakultas Ekonomi Unlam Banjarmasin