VALENTINE’S DAY DAN BUDAYA HEDONIS


DALAM sebuah diskusi singkat dengan seorang tokoh, ada sebuah pernyataan beliau yang patut kita renungkan bersama. Bahwa remaja dan pemuda bangsa kita saat ini telah kehilangan identitas yang menyebabkan mereka begitu mudah mengekor dengan kebiasaan dan budaya yang berasal dari luar. Apapun yang berasal dari luar (terutama dari negara-negara barat) dianggap sesuatu yang bagus, modern, dan akhirnya patut untuk dicontoh. Dari mode pakaian, penampilan, sampai gaya pergaulan. Tidak peduli apakah hal tersebut koheren dengan keyakinan yang dianut, atau malah bertentangan.

Para remaja –dalam hal ini remaja muslim- tidak pede dengan kehebatan ajaran dan kecemerlangan peradaban yang pernah mereka miliki. Gencarnya serangan budaya barat menjadikan mereka silau dan tidak dapat lagi berfikir secara benar dan objektif. Penyakit inferiority complex (perasaan rendah diri berlebihan) telah sedemikian rupa merasuk di benak sebagian besar dari mereka

Fenomena Valentine’s Day yang sering dirayakan oleh para remaja kita adalah salah satu bukti lemahnya sistem imun yang mereka miliki. Perayaan yang penuh nuansa hedonis (kesenangan sesaat) tersebut begitu familiar bukan hanya di perkotaan tapi sudah merambah ke daerah pelosok. Ritual memberikan coklat dan cenderamata warna pink, kartu ucapan selamat, bahkan pergaulan bebas ala dawson's creek menjadi bumbu utama Valentine’s Day. Mereka mengatakan itu merupakan tanda "sayang" mereka terhadap orang yang mereka kasihi.

Bahaya di Balik Valentine Day

Valentine’s Day hanyalah salah satu manifestasi kehidupan serba bebas ala barat. Ideologi kapitalisme yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya memberikan lampu hijau pada setiap manusia untuk bebas menentukan apa yang terbaik bagi dirinya. Tidak satu pun entitas yang memiliki wewenang untuk mengatur, apalagi membatasi kebebasan tersebut. Bahkan keberadaan negara dalam sistem ini dijadikan sarana untuk menjamin agar setiap warga negara bebas mengekspresikan dirinya, dalam bentuk apapun dan cara bagaimanapun. Salah bentuk kebebasan tersebut adalah perilaku mengejar kesenangan materi yang sifatnya sesaat (hedonis) dan budaya serba boleh (permisif).

Hasilnya, pergaulan bebas terjadi dimana-mana. Ribuan bahkan jutaan anak lahir tanpa orang tua lengkap, bahkan tidak sedikit yang dibunuh sebelum kemunculannya di dunia. Anak-anak single parents di negara-negara maju (Seperti AS) mengalami guncangan jiwa dahsyat dan terbukti menjadi pelaku kriminal utama di negara Paman Sam tersebut. Pornografi dan pornoaksi menjadi sebuah kewajaran. Akibatnya, perbuatan asusila dan prostitusi pun merebak. Bukan hanya diperbolehkan, bahkan difasilitasi. Alangkah mudahnya para remaja saat ini untuk mengakses gambar dan video mesum, baik dari majalah maupun internet. Kondom juga bebas diperjual belikan. Bahkan, beberapa waktu lalu pemerintah sempat menyediakan ATM kondom. Alhasil, penyakit kelamin semacam AIDS, Sphilis, dsb, merajalela. Menurut survey yang pernah dilakukan, peningkatan jumlah penderita AIDS di negara kita telah mencapai derajat “sangat memprihatinkan”. Ia bukan hanya menulari pelaku, tapi juga keluarga dekat dan kerabatnya.

Inilah sekelumit dampak dari budaya hedonis yang terkandung dalam perayaan Valentine’s Day. Fakta di lapangan menunjukkan tidak sedikit kaum remaja yang menjadikan perayaan ini sebagai ajang hura-hura lengkap dengan berbagai aktifitas pergaulan bebas yang memang inheren dalam Valentine’s Day. Mulai dari kissing, petting, sampai intercourse, Naudzubillahimindzalik.

Sikap Kita

Islam sangat memperhatikan permasalahan tentang naluri manusia. Lebih dari itu, ajaran yang mulia ini juga memberikan jalan dan petunjuk yang jelas tentang bagaimana cara dan metode untuk memenuhi kebutuhan naluri tersebut. Tujuannya tidak lain agar tercipta ketentraman dan kestabilan komunal yang dicita-citakan oleh setiap individu dan masyarakat. Kewajiban untuk menundukkan pandangan, larangan tabarruj (berhias dengan selain mahrom), dan berkhalwat (berduaan antara laki-laki dan perempuan), anjuran untuk menikah, dsb, merupakan beberapa solusi Islam dalam upaya menciptakan kemaslahatan dan mencegah terjadinya berbagai kerusakan yang berujung pada hancurnya tatanan sosial. Bukankah gaya hidup hedonis ala barat (yang salah satunya termanifestasi dalam Valentine’s Day) menjadi sumber dehumanisasi akut dalam masyarakat liberal ? Tentu setiap kita tidak ingin hal tersebut terjadi di tengah bangsa yang besar ini.

Islam juga mengajarkan kepada kita untuk tidak menyerupai umat atau golongan lain. Dengan ikut merayakan, maka mereka menjadi bagian dari masyarakat barat yang moralnya bobrok. Alangkah sedihnya kalau remaja muslim –yang nantinya menjadi tumpuan perjuangan lahirnya masyarakat Islam- terlena oleh kesenangan sesaat yang dipropaganadakan oleh para musuh Islam.

Sebagai basis awal dalam pembentukan kepribadian, proses pendidikan dalam keluarga mesti terus diintensifkan. Termasuk peran masyarakat dengan melakukan kontrol agar tidak ada satupun anggota komunitasnya melakukan perbuatan tercela dan melabrak aturan Islam. Usaha yang bisa dilakukan antara lain dengan adanya aktifitas amar ma’ruf nahi mungkar (baca:dakwah) dalam setiap lapisan.

Tidak kalah penting adalah peran negara yang dalam pandangan Islam menjadi unsur pelindung dan pencegah utama agar aktifitas apapun yang bertentangan dengan konstitusi (syariat) dapat dieliminasi sedini mungkin. Negara akan membuat regulasi yang melarang segala bentuk pornografi, pornoaksi, dan hal-hal lainnya yang menjurus kepada pergaulan bebas, termasuk valentine’s Day. Selain itu, negaralah yang akan menjatuhkan sanksi kepada setiap warganegara yang melakukan pelanggaran. Alhasil, peran negara dalam Islam menjadi sangat urgen dan menentukan. Hal ini kontradiktif dengan peran negara saat ini yang begitu minimalis dalam melindungi masyarakat dari berbagai budaya yang merusak. Wallahu’alam Bisshowab.


*) Pernah dipublikasikan pada rubrik OPINI Harian MATA BANUA, Edisi 25 Februari 2008.