MUI KURANG CERMAT


Sebagai sebuah lembaga keagamaan milik pemerintah yang bertugas mengeluarkan fatwa, maka wajar apabila MUI menjadi rujukan bagi umat dalam mengetahui dan memahami status hukum (Islam) berbagai permasalahan aktual yang sedang terjadi. Tugas MUI-lah untuk memberikan penjelasan beragam masalah berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah melalui pemahaman realitas yang benar serta istidlal (pengambilan dalil) yang tepat.
Dalam konteks ini, fatwa MUI tentang golput (memilih/tidak memilih pemimpin) harus difahami sebagai upaya dari para ulama negeri ini untuk turut serta memecahkan permasalahan yang saat ini menjadi bahan perbincangan menjelang Pemilu 2009.
Hanya saja, menurut saya, fatwa ini mengandung beberapa kelemahan karena kurang cermatnya pemahaman terhadap realitas yang ada serta istidlal yang keliru. Dari lima statement dan dua rekomendasi yang dikeluarkan hanya menyinggung soal kepemimpinan dalam perspektif individu. Padahal, sistem pemerintahan yang dijalankan dalan aktifitas kekuasaan juga mesti mendapat sorotan.
Bagaimana mungkin seorang pemimpin dapat memberikan kemaslahatan (baik dunia terutama di akhirat) sementara negeri ini menjadikan sekulerisme sebagai dasar negara. Sekulerisme merupakan asas dari ideologi kapitalisme yang menjadi biang berbagai kerusakan dan ketimpangan sistemik di tengah masyarakat. Sekulerisme ini jugalah yang membuat Umat Islam sampai saat ini tidak bisa menjalani seluruh aktifitas hidupnya –ekonomi, sosial, politik, dst- sesuai dengan ajaran yang diyakininya.
Semestinya MUI juga mengharamkan sistem sekuler termasuk berbagai aktifitas yang menyokong tegaknya sistem ini. Hal ini sangat koheren dengan fatwa MUI sebelumnya yang mengharamkan sekulerisme, pluralisme, dan liberalisme.
Masalah kepemimpinan memiliki tempat tersendiri dalam Islam. Bahkan di beberapa hadits sahih disebutkan tentang pentingnya pemimpin dalam rangka untuk menggapai kemaslahatan dan menolak kemudharatan dalam kehidupan bermasyarakat.
Syarat pemimpin negara dalam Islam yang telah disepakati oleh jumhur (mayoritas) ulama adalah muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka, dan mampu menjalankan tugas-tugas kenegaraan. Selain itu, aktifitas kekuasaan yang dijalankannya harus dalam rangka menegakkan hukum-hukum Allah. Dalam hal ini, memilih pemimpin merupakan fardhu kifayah (kewajiban kolektif) bagi kaum muslim. Artinya, apabila ada sekelompok kaum muslim yang telah mengangkat seorang pemimpin sebagai pelaksana syariat secara kaffah, maka bagi yang lain tidak lagi merupakan sebuah kewajiban.
Sementara itu, memilih wakil rakyat memiliki jenis hukum yang berbeda dengan hukum nashb al-imam (mengangkat pemimpin). Memilih wakil rakyat untuk menyampaikan aspirasi/pendapat termasuk kategori wakalah. Wakalah (aktifitas mewakilkan) ini absah selama rukun dan syarat-syaratnya terpenuhi. Dalam konteks Pemilihan umum legislatif, hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah dalam perkara apa proses wakalah tersebut dilakukan.
Panduannya, apabila wakalah dilakukan pada perkara-perkara yang dibolehkan, misalnya mengoreksi kebijakan penguasa yang menyimpang (fungsi pengawasan), maka perkara tersebut boleh. Sementara wakalah dalam rangka melakukan proses legislasi yang bertentangan dengan hukum Allah atau melanggengkan sistem kufur sama sekali tidak dibolehkan (haram). Wallahu’alam bis showab.