OTONOMI DAERAH: MENSEJAHTERAKAN RAKYAT?


Tidak dapat dipungkiri bahwa Otonomi Daerah di Indonesia lahir dari rasa kemuakan terhadap pemerintah yang sangat sentralistik ketika itu. Dimana terjadi kesenjangan pembangunan antara Pusat dan Daerah. Sehingga melalui agenda Reformasi, otonomi daerah pun kemudian dijadikan pilihan.
Kemudian dijabarkanlah dalam pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.
Dimana mengingat wilayah Indonesia yang sangat luas, maka dalam penyelenggaraan pemerintahan kebijakan desentralisasi (penyerahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah) dilaksanakan bersamaan dengan asas dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

Sehingga secara filosofis, ada dua tujuan utama yang hendak dicapai oleh pengambil kebijakan dari penerapan kebijakan desentralisasi yaitu sebagai sarana pendidikan politik dan tujuan kesejahteraan rakyat. Sebagai sarana pendidikan politik adalah dimaksudkan untuk memposisikan pemerintah daerah sebagai instrumen pendidikan politik di tingkat lokal yang kemudian diharapkan akan mampu menyumbang terhadap pendidikan politik secara nasional sebagai elemen dasar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Tujuan kesejahteraan mengisyaratkan pemerintahan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui penyediaan pelayanan publik secara efektif, efisien dan ekonomis.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan mengapa setelah memasuki tahun kesepuluh era Reformasi, yang kata orang ini adalah era dimana kebebasan lebih menjanjikan, kemiskinan diberbagai daerah masih saja terjadi, bahkan cederung semakin bertambah? Sudah banyak kasus terjadi di berbagai daerah seperti busung lapar/kurang gizi, bunuh diri dan tindakan kriminal karena himpitan ekonomi, serta berbagai peristiwa lainnya. Hal ini cukuplah kiranya secara kasat mata dijadikan indikator sampai sejauh mana tingkat kesejahteraan rakyat.
Dimana tanggung jawab negara dalam mensejahterakan rakyatnya? Kemana lagi rakyat meminta perlidungan selain kepada negara. Walaupun dalam UUD 1945 pasal 33 yang dibuat oleh founding fathers, dinyatakan bahwa bumi, air dan kekayaan yang ada didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Akan tetapi secara impletatif dari jaminan ini tidak bisa dirasakan oleh rakyat, sehingga hal ini hanya seperti terdengar indah ditelinga, pada kenyataannya justru sebaliknya.
Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya akan sumber daya alamnya, bagaimana mungkin penduduk Papua yang kekayaan alamnya melimpah justru banyak yang mengalami busung lapar? Padahal disana berdiri Perusahaan Freeport yang mampu memperoleh total pendapatan US$ 2,3 miliar pada tahun 2004, yang kemudian meningkat US$ 4,2 miliar pada tahun 2005. Dan menurut laporan Badan Pusat Statistik tahun 2004, Papua yang memiliki cadangan emas terbesar di dunia justru termasuk provinsi dengan penduduk termiskin terbesar.
Daerah lain pun demikian, Riau yang dikenal sebagai salah satu daerah penghasil minyak terbesar di Indonesia, yang sejak tahun 1970-an potensi ini dilirik oleh investor luar negeri yang bahkan berani mengucurkan jutaan dolar AS demi menambang kandungan minyak Riau. Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Riau tahun 2004 mencatat bahwa dari 4.543.584 penduduk 22,19 persennya tergolong miskin. Provinsi kaya ini menyimpan beragam problem masalah yang sangat kompleks, dari faktor sumber daya alam dan lingkungan, struktural, serta kultural. Padahal pemerintah pusat saja memperoleh Rp 68 triliun dari hasil minyak dan gas di Riau. Dari dana ini, yang dikembalikan ke Riau Rp 8,9 triliun. (Al-Wa’ie, Jan/07). Hal yang hampir serupa juga terjadi di daerah-daerah lainnya di Indonesia. Ironis memang, tapi hal inilah yang terjadi di negeri kita.

Solusi Islam
Sebenarnya sejumlah permasalahan yang mengemuka diatas adalah akibat ketidakjelasan batas-batas kepemilikan. Islam dengan jelas mendudukkan konsep yang tepat tentang kepemilikan (al milkiyah). Kepemilikan (property) hakikatnya seluruhnya adalah milik Allah secara absolut. Allahlah Pemilik kepemilikan dan kekayaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Kepunyaan Allahlah kerajaan langit dan bumi serta apa saja yang ada di antara keduanya” (TQS al-Maidah [5]:17).
Konsep Islam dalam masalah kepemilikan akan terlihat dalam buku Membangun Sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam (Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam) yang ditulis oleh Taqiyuddin an-Nabhani. Dan secara lebih sistematis dipaparkan oleh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Sistem Keuangan di Negara Khilafah (Al-Amwal fi Dawlah al Khilafah), yang membagi konsep kepemilikan secara jelas; kepemilikan individu (private property), kepemilikan publik (collective property), dan kepemilikan negara (state property).
Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) bagi kaum Muslim, dan menjadikan harta tersebut sebagai milik bersama kaum Muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari harta tersebut, namun, mereka dilarang untuk memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik: (1) Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energi, pembangkit listrik, dan lain-lain, (2) Kekayaan yang asalnya terlarang bagi individu untuk memilikinya, seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid, dan lain-lain, dan (3) Bahan tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam). Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda: “Kaum muslim sama-sama membutuhkan tiga perkara: padang, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ibn Majah).
Walaupun akses terhadapnya terbuka bagi kaum Muslim, regulasinya diatur oleh negara. Kekayaan ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal kaum Muslim, Khalifah selaku pemimpin negara, bisa berijtihad dalam rangka mendistribusikan harta tersebut kepada kaum muslimin demi kemaslahatan Islam dan kaum Muslim. Dan konsep ini tidak bisa tidak, hanya bisa diterapkan oleh negara yang mampu menjamin pelaksanaannya yakni Daulah Khilafah Islamiyyah.
Walhasil, demikianlah Islam menyajikan konsep yang sempurna dalam pengaturan kehidupan manusia. Tinggal apakah kita mau menaatinya atau tidak? Wallahu a’lam bi ash-shawab.

M. Ananta Firdaus
Mahasiswa Pascasarjana
Ilmu Hukum Unlam
Email: ananta@jurnal-ekonomi.org