
Pemilihan umum sudah hampir didepan mata, spanduk dan baliho berisikan tampang para politisi bertebaran disepanjang jalan, bahkan atribut partai pun juga tak ketinggalan. Mungkin ada yang suka melihat hal tersebut mungkin juga ada yang sudah jenuh.
Iklan politik di Indonesia sudah bersaing keras dengan papan iklan rokok dan iklan kartu SIM telepon genggam. Indonesia dikenal memang sebagai negeri spanduk karena saking banyaknya antribut dan papan iklan bertebaran ditiap sudut dan pinggir jalan, bahkan sudah sampai ke pelosok desa.
Media televisi pun tidak mau ketinggalan, pemandangan serupa juga terlihat. Iklan tokoh nasional pun menyemarakkan rangkaian pesta demokrasi ini, sebut saja Prabowo, Sutrisno Bachir, Wiranto dan Rizal Mallarangeng. Ditambah lagi dengan beberapa iklan kandidat gubernur atau bupati yang secara periodik muncul seiring dengan periode pilkada.
Pernah saya mendengar bahwa untuk biaya pemasangan billboard di kota Banjarmasin bisa menghabiskan dana hingga 5 juta-an bahkan bisa lebih tergantung tempat dan ukurannya. Malah bisa saja puluhan sampai ratusan juta pun dihabiskan hanya untuk memasang billboard dengan jangka waktu yang cukup lama.
Berapa biaya iklan di televisi? Anda tentu masih ingat dengan iklan Sutrisno Bachir, ternyata menurut kabar menghabiskan dana sampai Rp 15 milyar setiap bulannya! Dan koran? Bisa jadi sampai belasan juta tergantung space iklannya, malah bisa saja puluhan juta rupiah jika satu halaman penuh.
Inilah demokrasi, demokrasi memang mahal, karena selain biaya yang dikeluarkan oleh negara untuk menyelenggarakan pesta demokrasi yang sedemikian besar, ditambah juga dengan pengeluaran para politisi yang berkompetisi mendapatkan suara di dalam pesta tersebut. Malah kawan saya yang ikut sebagai salah satu calon legislatif sampai sekarang sudah mengeluarkan dana hingga ratusan juta rupiah, padahal pemilihannya sendiri masih cukup lama. Belum lagi banyaknya proposal yang yang berdatangan dari masyarakat dengan berbagai macam bentuk. Anda bisa bayangkan betapa besarnya dana yang dikeluarkan.
Apakah pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah yang menelan dana hingga trilyunan rupiah (oh iya, uang tersebut berasal dari kita, para pembayar pajak) tersebut menghasilkan wakil rakyat dan pejabat publik yang berkualitas sesuai dengan janji-janji yang pernah mereka berikan? Tariklah nafas anda sebelum menjawabnya.
“Bagi masyarakat, pemilu bukan proses politik penting, tetapi sekadar festival, seperti lebaran atau hari raya. Walaupun sejak 1999 sudah ada kebebasan, tapi perilaku memilih mereka masih dipengaruhi ketokohan dan primordialisme," ujar pengamat politik J Kristiadi. Banyak partai-partai peserta pemilu menggunakan sentimen primordial seperti etnis dan agama untuk menarik simpati para pemilihnya.
Kecenderungan iklan politik dan kampanye politik kita adalah menjual narasi dan biografi diri yang dilebih-lebihkan, bukan menjual prestasi dan kontribusi. Menjual janji dan bukan bukti, menjual hura-hura (kumpul-kumpul) dan bukan komitmen. Jenis iklan dan kampanye yang ada semacam ini mungkin bisa menipu pemilih untuk sementara. Sehingga, pembusukan politik pun terjadi di negeri ini yang menyebabkan hilangnya kepercayaan rakyat terhadap parpol dan politisi. Mereka cenderung skeptis, dengan asumsi bahwa semua politisi adalah sama, kalau sudah duduk di kursi kekuasaan akan lupa daratan. Generalisasi ini membuat rakyat tidak lagi memiliki gambaran seperti apakah politisi yang seharusnya.
Realitas di lapangan menunjukkan para pemilih tidak tertarik dengan visi misi partai dan kandidat, tapi lebih tertarik dengan ”gizi” yang dibawa partai dan kandidat. Misal, politisi yang membagi-bagikan uang, memberi pelayanan kesehatan gratis, menyumbangkan sembako, memperbaiki jalan, dan sebagainya. Para politisi yang menginginkan untuk terpilih mau tidak mau tentu akan mengikuti mekanisme ini. Dan untuk menutup modal yang mereka keluarkan, bisa jadi mereka akan melakukan korupsi, seperti berita beberapa waktu lalu ditangkapnya wakil rakyat yang menerima suap. Begitu seterusnya seperti lingkaran setan yang tidak jelas lagi kemana ujung mana pangkalnya.
Munculnya fenomena semacam ini adalah wajar karena mayoritas rakyat masih beranggapan bahwa politik identik dengan kekuasaan. Aktivitas politik hanya dibatasi pada aktivitas untuk menduduki dan menumbangkan kekuasaan.
Politik seharusnya dipandang sebagai sebuah aktivitas yang dilakukan untuk mengurus kepentingan rakyat, yang dilakukan oleh individu, partai, kelompok, atau negara atau beberapa negara. Bukan lagi untuk kepentingan kelompok/golongan tertentu (ingat! kenaikan BBM lalu, walau mayoritas rakyat menolak, kebijakan ini tetap saja dijalankan). Sehingga, menjelang pemilu kali ini, pencerdasan politiklah yang harus dilakukan oleh segenap elemen parpol dan politisi, jangan sampai biaya yang dikeluarkan sedemikian besar terbuang sia-sia.
M. Ananta Firdaus, SH
Mahasiswa S2 Ilmu Hukum Unlam
E-mail: ananta@jurnal-ekonomi.org