MENGATASI KRISIS PANGAN


Ancaman krisis pangan telah melanda dunia. Yang mengherankan, krisis juga terjadi di negara-negara yang memiliki lahan yang luas dan subur dimana sektor pertanian menjadi salah satu pilar andalan. Seperti yang telah diketahui bersama, sejak beberapa tahun terakhir ini masyarakat Indonesia mengalami berbagai persoalan yang terkait dengan masalah ketersediaan produk pertanian berupa pangan.

Sebagai akibat dari kebijakan privatisasi, liberalisasi, dan deregulasi yang dilakukan oleh pemerintah dibidang pertanian, berbagai produk pangan nasional sempat mengalami gejolak harga akibat situasi internasional, seperti beras (1998), minyak goreng dan susu (2007), dan yang terbaru kedelai (2008). Komoditas pertanian lainnya yang terkena dampak antara lain jagung, gula, singkong, dan gandum (Rosadi, 2008). Alhasil, banyak anggota masyarakat yang tidak sanggup memenuhi kebutuhan pokok karena tingginya harga komoditas-komoditas tersebut. Selain itu, mencuatnya kasus gizi buruk dan busung lapar diberbagai daerah telah menegaskan bahwa krisis pangan sudah mencapai titik kritis.

Secara umum, setidaknya ada 3 penyebab terjadinya krisis pangan (Iman, 2008). Pertama, produksi pangan yang minus. Hal ini terjadi apabila produksi yang dihasilkan tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat. Penyebabnya beragam, baik bersifat teknis maupun non teknis. Menurunnya jumlah lahan produktif, serangan hama & penyakit, perubahan iklim, kekeringan, banjir, yang kesemuanya menyebabkan panen gagal atau jumlah produksi berkurang secara signifikan.

Kedua, distribusi pangan yang tidak merata. Ini terjadi ketika produksi pangan disuatu negara sebenarnya cukup (bahkan surplus) secara kolektif. Namun, karena sistem distribusi yang buruk, ada yang tidak mendapatkannya.

Ketiga, kombinasi antara faktor pertama dan kedua.

Pemerintah (dalam hal ini Departemen Pertanian) telah melakukan berbagai strategi dan terobosan untuk mengatasi atau setidaknya meminimalkan dampak krisis pangan global. Upaya yang dilakukan antara lain (1) pemanfaatan potensi dan keragaman sumberdaya lokal secara efisien dengan memanfaatkan teknologi spesifik lokasi; (2) pengembangan sarana prasarana yang mendukung produksi pangan; (3) peningkatan pelayanan penyuluhan dan pendampingan ketahanan pangan masyarakat (4) pengembangan perdagangan pangan regional dan antar daerah, dst (www.deptan.go.id)

Sayang, berbagai terobosan di atas (berikut upaya-upaya sejenis) masih didominasi oleh aspek taktis dan teknis. Padahal, -sebagaimana persoalan lainnya yang terkait dengan ekonomi-, inti permasalahan ketersediaan pangan lebih bersifat strategis ideologis, berupa paradigma pengelolaan yang sepenuhnya bercorak kapitalistik. Sistem ini tidak memperdulikan –bahkan mengabaikan- aspek distribusi berupa penyediaan akses yang transparan dan merata bagi seluruh warga negara.

Apabila jumlah pangan surplus, tetapi ada kasus kelaparan, maka yang menjadi pokok permasalahan adalah faktor buruknya distribusi. Buktinya, kasus kelaparan dan gizi buruk ternyata juga terjadi di daerah penghasil pangan utama, seperti Sulawesi Selatan dan NTB. Booming produk pangan dunia juga tidak mampu mencegah kematian puluhan juta orang akibat kelaparan dan kurang gizi.

Syariat Islam Mengatasi Krisis Pangan

Berbeda dengan standar FAO yang menyatakan bahwa rawan pangan terjadi apabila 30% lebih penduduk mengalami gizi buruk, maka dalam Islam jika ada 1 atau 2 orang saja yang kelaparan, sudah terjadi rawan pangan (Iman, 2008). Dengan paradigma melayani seluruh kebutuhan pokok (terutama pangan) kepada setiap individu warga negara, Syariat Islam akan mampu mengatasi bahkan mencegah terjadinya krisis pangan dengan berbagai mekanisme yang dimilikinya.

Dari sektor hulu, berbagai program yang telah dijalankan selama ini akan terus dijalankan bahkan ditingkatkan kualitasnya. Para petani akan mendapatkan fasilitasi penuh berupa pelatihan dalam penggunaan teknik-teknik modern dalam bertani, sarana produksi (saprodi) yang memadai, termasuk penggunaan hasil riset pertanian yang aman dan produktif. Islam juga melarang terbengkalainya lahan produktif untuk memperluas dan memaksimalkan potensi lahan yang tersedia (ekstensifikasi).

Selain itu, upaya konversi lahan pertanian yang sering terjadi selama ini tidak akan diizinkan. Konversi lahan pertanian adalah salah satu penyebab utama menyusutnya jumlah produksi pertanian. Menurut Darajat (2007), pada tahun 1990-an, masih tersedia lahan pertanian seluas 25 juta ha, namun terus menyusut hingga tahun 2004 tersisa 14,2 juta ha yang terdiri dari lahan basah 7,7 juta ha dan lahan kering 6,5 juta ha.

Negara juga akan berlaku adil dan transparan pada setiap pelaku dunia usaha tani, termasuk pelaku industri pertanian, agar tercipta mekanisme pasar yang sehat. Tidak ada liberalisasi sektor pangan karena pemerintah memiliki tanggung jawab penuh terhadap ketersediaan dan ketercukupan pangan setiap individu, selain karena praktik ini hanyalah alat bagi negara-negara besar untuk mengeruk kekayaan dan mengekalkan penjajahannya terhadap negara-negara dunia ketiga, terutama negeri Islam.

Tidak ada monopoli atau oligopoli, juga tidak ada penetapan harga yang bisa menyebabkan instabilitas pasar. Persaingan yang adil, sehat, dan wajar akan meningkatkan kualitas dan profesionalitas. Negara akan mengawasi mekanisme penawaran dan permintaan untuk mencapai tingkat harga yang didasari rasa keridhaan, termasuk menerapkan sanksi yang tegas pada setiap tindak kecurangan (seperti penipuan, penimbunan, dsb).

Negara juga akan mendorong kemajuan disektor industri pertanian dengan menyediakan sarana dan prasarana seperti jalan, pasar, bahan baku industri pertanian, lembaga-lembaga permodalan, dst.

Akhirnya, bukan hanya ketahanan pangan yang akan diraih. Metode seperti ini akan sangat membantu konsumen produk pertanian untuk mencukupi kebutuhannya, sekaligus mengangkat derajat para petani yang kondisinya sangat terpuruk sampai sekarang. Wallahu’alam bis showab.


Dipublikasikan Pada Rubrik Opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 23 Agustus 2008