EKONOMI LIBERAL DAN SWASTANISASI BUMN


Adam Smith, dalam bukunya The Wealth of Nations menginginkan agar negara tidak terlalu campur tangan dalam menata perekonomian. Dia berpendapat perlunya pasar bergerak sendiri melalui mekanisme harga karena adanya peranan sitangan gaib (invisible hand). Selain itu, persaingan antar para pelaku ekonomi secara alami akan menyehatkan perekonomian karena mekanisme seperti ini akan menghasilkan barang dan pelayanan (jasa) dengan kualitas terbaik. Kemakmuran akan tercapai ketika masyarakat secara kompetitif melakukan proses “produksi”. Pemerintah mesti membuat regulasi yang kondusif agar suasana persaingan seperti ini dapat terus dipertahankan.

Inilah konsep dasar yang digunakan oleh tim ekonomi nasional dalam mengelola perekonomian Indonesia. Tentu saja dengan melakukan berbagai modifikasi dan pendekatan mutakhir ala neoliberalisme. Contoh konkrit, mereka menelorkan kebijakan berupa peningkatan besaran investasi (terutama dari luar negeri) untuk memacu pertumbuhan ekonomi. Undang-Undang Penanaman Modal –yang memberikan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya- merupakan salah satu payung hukum yang digunakan. Banyaknya modal yang ditanamkan, misalnya dalam bentuk pendirian pabrik-pabrik industri, diharapkan akan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat. Inilah yang disebut tricle down effect (efek menetes ke bawah).

Adapun penjualan aset Negara (BUMN) secara besar-besaran tahun ini (terbesar dalam sejarah) dimaksudkan agar tercipta kondisi persaingan ekonomi yang merata antar para pelaku ekonomi, baik lokal maupun asing, menambal defisit anggaran, dan memanfaatkan dana yang diperoleh untuk membantu BUMN lain yang terus merugi, dan yang terpenting adalah untuk meminimalkan peran negara dalam mengelola perekonomian.

Sebagai bagian dari komitmen untuk meliberalisasi sektor perekonomian, Tim Ekonomi kembali akan melakukan proses lego terhadap 37 BUMN. Alhasil, puluhan korporasi transnasional yang antre untuk menanamkan sahamnya pada BUMN-BUMN strategis. Salah satu perusahaan tersebut adalah produsen baja terbesar di dunia, Arcellor Mittal yang sangat bernafsu untuk mentake over PT Krakatau Steel. Mereka bahkan menaikkan penawaran harga dari 5 milyar dollar, menjadi 10 milyar dollar (Metro TV, 23/4/2008). Padahal menurut Dirut PT Krakatau Steel, fihak manajemen sebelumnya tidak pernah mengundang investor.

Meski terjadi berbagai gejolak, pemerintah tidak merubah target total penjualan BUMN sebesar Rp1.000 triliun pada 2008, naik dari target 2007 sebesar Rp 820 triliun.

Ada beberapa kesalahan asumsi dalam paradigma ekonomi yang digunakan selama ini. Ketika setiap warganegara diberikan wewenang yang sama tanpa disertai proteksi yang memadai bagi sebagian warganegara yang lemah, maka akan terjadi apa yang disebut dengan darwinisme sosial. Manusia akan menghalalkan segala cara untuk memenuhi syahwatnya sebagai homo economicus. Akhirnya yang terjadi adalah hukum rimba, yang kuat menjadi predator bagi yang lemah. Bermunculanlah para konglomerat di tengah penderitaan jutaan rakyat miskin.

Apakah dengan menjamurnya industri, akan secara otomatis memerlukan tenaga kerja yang besar ? Secara sederhana bisa dijelaskan bahwa karakteristik industri lebih sering memanfaatkan mesin-mesin canggih dan SDM yang prima agar tercipta efisiensi dan efektifitas produksi. Alhasil, sebagian besar tenaga kerja kita tidak terserap, bahkan dalam beberapa kasus yang terjadi adalah PHK massal.

Adapun langkah pemerintah yang mengobral BUMN untuk “menyelamatkan “ anggaran dan “menyehatkan” BUMN yang bersangkutan, sesungguhnya tidak menyentuh akar permasalahan. Apakah segala yang dikelola oleh swasta akan menjamin peningkatan kualitas ? Bukankah lemahnya komitmen , buruknya sistem pengawasan, sampai persoalan reward and punishment, bisa diatasi dengan sebuah pengelolaan manajemen yang baik. Artinya, “lepas tangan” bukanlah langkah yang bijak.

Alasan bahwa penjualan BUMN dilakukan karena pengelolaan BUMN tersebut tidak profesional, sehingga selalu dalam keadaan merugi- telah memunculkan tanda Tanya besar. Badan usaha yang sebelumnya terkategori “sangat sehat” bahkan selalu membukukan keuntungan, kini rata-rata 85 % saham dari badan usaha tersebut menjadi milik investor asing. Beberapa diantaranya yaitu PT Telkom Tbk, PT Indosat Tbk, PT Semen Gresik Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Kimia Farma Tbk, PT Perusahaan Gas Negara Tbk, , PT Bukit Asam Tbk, dll. Lantas, apalagi alibi pemerintah untuk menjelaskan kasus ini ?

Satu-satunya argumen yang memuaskan adalah bahwa pemerintah memang menjadikan liberalisme sebagai mazhab ekonominya.

Karena bersifat paradigmatik, maka sebaiknya permasalahan ekonomi nasional saat ini diselesaikan secara paradigmatik pula. Untuk itu, kita membutuhkan paradigma baru dalam mengelola negeri ini.

Dipublikasikan pada rubrik Opini Harian Radar Banjarmasin, Edisi 9 Mei 2008