KETIKA HARGA BBM NAIK


Pemerintah akhirnya memutuskan untuk menaikkan harga BBM. Meski berlaku efektif pada awal bulan Juni nanti, kepanikan akibat makin mahalnya harga BBM sudah dapat dirasakan. Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) yang biasanya relatif adem ayem, kini seperti kelabakan akibat serbuan para pengendara mobil, motor, bahkan pedagang BBM eceran yang kehabisan stok. Mereka rela antre berjam-jam agar bisa mendapatkan BBM dengan harga “standar”. Akibatnya, tidak sedikit SPBU yang harus tutup lebih awal karena melonjaknya permintaan. Fenomena serupa dipastikan akan semakin jelas terlihat menjelang pergantian bulan nanti.

Sangat disayangkan, di tengah situasi seperti ini ada sebagian oknum masyarakat yang melakukan praktik penimbunan BBM, terutama jenis solar dan minyak tanah. Lemahnya pengawasan dari fihak terkait, membuat praktik kotor seperti ini terjadi secara massif di hampir seluruh daerah. Sementara itu, ada juga beberapa oknum masyarakat yang melakukan penyaluran BBM bersubsidi secara ilegal kepada fihak industri. Hal ini terjadi karena tingginya disparitas harga BBM untuk masing-masing penggunaan.

Sepertinya maksud pemerintah untuk mengkondisikan kesiapan masyarakat dengan kenaikan harga BBM, tidak menuai hasil yang memuaskan. Masyarakat, yang memang sudah sedemikian terhimpit dengan kondisi kehidupan saat ini, ternyata lebih menunjukkan reaksi kepanikan. Mereka sepertinya tidak terlalu peduli dengan alasan “pengamanan APBN” yang terus menerus digaungkan oleh pemerintah.

Sementara itu, aksi demonstrasi menolak kenaikan harga BBM juga terjadi dibeberapa daerah. Unjuk rasa yang kebanyakan dimotori oleh kalangan intelektual seperti mahasiswa, Ormas, LSM, dsb, mendesak pemerintah untuk kembali meninjau ulang kebijakan yang tidak populis ini.

Tidak ketinggalan, beberapa Parpol serta tokoh nasional juga angkat bicara, terlepas dari adanya unsur politis yang menyertainya. Bahkan, ada beberapa pakar ekonomi, semisal Kwik Kian Gie, yang mempertanyakan alasan pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Menurut beliau, istilah “subsidi” yang dipakai pemerintah selama ini adalah opportunity loss, bukan real cash money loss.

***

Menaikkan harga BBM, apapun alasannya, dipastikan akan semakin menambah beban hidup masyarakat. Daya beli masyarakat akan semakin merosot karena tingginya harga barang dan juga jasa/pelayanan. Berdasarkan pengalaman yang ada, kenaikan harga BBM akan diikuti oleh kenaikan harga berbagai jenis barang di pasaran. Hal ini wajar mengingat semua jenis barang, baik secara langsung maupun tidak, menggunakan BBM dalam operasionalnya. Dapat dipastikan, jumlah masyarakat miskin akan semakin membengkak karena mereka lah yang secara langsung terkena dampak kenaikan harga BBM.

Para pelaku dunia usaha, terutama yang terkategori unit usaha mikro, kecil, dan menengah, akan kembali menjerit. Tingginya ongkos produksi mengakibatkan mereka harus mengencangkan ikat pinggang, bahkan tidak sedikit yang akhirnya gulung tikar. Padahal, mereka memiliki peran besar dalam menggerakkan roda perekonomian nasional. Tidak sedikit pula perusahaan besar melakukan PHK bahkan diantaranya menutup unit usaha atau anak perusahaannya, untuk mengurangi kerugian akibat terjadinya inefisiensi. Alhasil, jumlah pengangguran pun meningkat.

Tingginya angka kemiskinan serta membengkaknya jumlah pengangguran akan memunculkan kerawanan sosial. Dikhawatirkan, berbagai penyakit sosial yang saat ini saja sudah sedemikian memprihatinkan, akan semakin sulit untuk dituntaskan.

Sekilas fakta di atas sebenarnya sudah menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah untuk menaikkan harga BBM telah menjadi pemicu munculnya berbagai masalah, atau setidaknya memperparah masalah yang sudah ada. Apalagi, opsi kenaikan harga BBM sebenarnya masih debatable. Pemerintah semestinya mengambil kebijakan yang lebih populis dengan menunjukkan keberfihakan yang nyata kepada masyarakat.

Sebenarnya, ada beberapa solusi yang bisa dilakukan untuk mengatasi defisit anggaran yang saat ini mengancam APBN kita, sebagai akibat melambungnya harga minyak dunia yang berujung pada membengkaknya pembiayaan di sektor energi. Langkah yang bisa diambil antara lain dengan melakukan penghematan besar-besaran disemua sektor pengeluaran negara, baik pusat maupun daerah, yang selama ini sudah dilakukan pemerintah.

Selain itu, pemerintah dapat memanfaatkan dana APBD yang mengendap di BI, penanggguhan utang luar negeri, manaikkan harga penjualan gas ke luar negeri dimana harga gas nasional yang diekspor selama ini jauh di bawah harga standar internasional, sampai solusi mendasar seperti melakukan pengelolaan secara mandiri seluruh aset bangsa, terutama yang terkait dengan sektor energi. Liberalisasi pengelolaan SDA khususnya energi telah memiliki andil besar terhadap minimnya pemasukan dalam jumlah sangat besar yang seharusnya masuk kas negara, serta membuat korporasi internasional menguasai pengelolaan energi nasional.

Sementara itu, perlu juga dilakukan pengawasan yang intensif dan menyeluruh terhadap penyaluran BBM untuk meminimalisasi penyalahgunaan.

Adanya program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang kembali akan digulirkan oleh pemerintah sangat diragukan efektifitasnya. Program ini tidak menyentuh sama sekali akar persoalan masyarakat, yaitu minimnya lapangan kerja yang tersedia untuk mencukupi nafkah hidup mereka. Selain sangat pragmatis dan tidak edukatif, program ini rawan akan berbagai penyimpangan yang berujung pada terjadinya konflik di tengah masyarakat.