Entah sengaja atau tidak, tidak lama setelah Soeharto meninggal, dokumen yang berisi hubungan AS dan rezim Soeharto dipublikasikan di Amerika Serikat. Dokumen yang dipublikasi oleh Arsip Keamanan Nasional atau The National Security Archives menggambarkan bagaimana pemerintah AS tidak berbuat banyak terhadap pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto di saat memerintah di Indonesia. Kritik keras Amerika Serikat terhadap Soeharto hanya muncul tahun 1998, ketika Indonesia diguncang kerusuhan akibat krisis moneter (www.dw-world.de/dw/article/)
Dalam dokumen itu terdapat transkripsi pertemuan Soeharto dengan Presiden AS Richard Nixon, Gerald Ford dan pejabat tinggi AS seperti Henry Kissingger yang saat itu menjadi menlu AS. Terungkap pula,
Dokumen ini menunjukan adanya keterhubungan antara pemerintahan Soeharto dengan AS. Selama ini, jarang sekali diungkap bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil Soeharto bukanlah semata-mata karena faktor pribadi sebagai pemimpin. Akan tetapi ada dukungan, pengaruh bahkan campur tangan yang kuat dari AS untuk mendesain system politik dan ekonomi
Soekarno kemudian tumbang setelah terjadinya peristiwa yang dikenal dengan pemberontakan G30s PKI. Soeharto pun muncul sebagai pemimpin baru
Jatuhnya Soekarno merupakan kondisi sangat kondusif bagi AS untuk bermain secara langsung dalam politik dan ekonomi
Kebijakan Pro Liberal
Dalam kabinet ini hampir sebagian besar pejabat ekonominya adalah hasil didikan AS terutama dari Mafia Berkeley . Terdapat Widjojo Nitisastro (alumnus Berkeley) sebagai ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Emil Salim (alumnus Berkeley)sebagai wakilnya, Subroto sebagai dirjen pemasaran dan perdagangan (alumnus Harvard), menteri keuangan Ali Wardhana (Berkeley), ketua Penanaman Modal Asing Moh. Sadli (MIT).
Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan. Ditandai dengan kebijakan yang pro pasar, mengundang investasi asing, meminjam hutang luar negeri. Dampaknya sangat luar biasa. Kebijakan investasi asing ditandai dengan penjualan kekayaan alam Indonesia kepada perusahaan asing sebagai kompensasi dari bantuan hutang luar negeri Indonesia. Sementara hutang luar negeri kemudian menjadi alat tekanan negara donor yang semakin menjerat
Jhon Pilger dalam The New Rulers of World menggambarkan bagaimana kekayaan alam
Sementara di seberang meja, hadir ekonom-ekonom The Berkeley Mafia yang menjual
Tidak jauh beda dengan ekonomi, kebijakan politik Indonesia di masa rezim Soeharto sulit dikatakan murni hasil pikiran Soeharto. Format politik saat itu sangat dipengaruhi oleh Ideologi Kapitalisme. Sejak era Soeharto kebijakan politik yang sekuler samakin menguat. Dalam konteks ini, bisa dimengerti kenapa Soeharto tampak bersikap sangat keras terhadap kelompok-kelompok Islam yang ingin memperjuangkan syariah Islam atau negera Islam. Disamping , kekuatan Islam dianggap sebagai ancaman politiknya secara pribadi, kekhawatiran kelompok Islam merubah asas sekuler dari negara juga menjadi pertimbangan. Sama seperti isu perang melawan terorisme sekarang, isu membendung kelompok radikal merupakan isu yang layak dijual untuk mendapat kepentingan negara-negara Barat.
Bagi AS dan negara-negara Barat lainnya, kebijakan Soeharto yang mengokohkan sekulerisme di Indonesia dengan membendung kekuatan kelompok Islam tentu akan mengamankan posisi ideologis Barat. Sejak dulu hingga saat ini, ada kekhawatiran yang besar dari negera-negara Barat, bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk yang mayoritas muslim akan menjadi negara yang menegakkan syariah Islam secara formal.
Bisa dimengerti kenapa AS tidak terlampau mempersoalkan kebijakan Seoharto yang cendrung represif terhadap lawan politiknya. Dalam kasus asas tunggal yang banyak misalkan, Soehrato kemudian menjerat lawan politiknya dengan alasan menentang ideologi negara. Tindak represif pun terjadi dibanyak tempat. Sebab, asas tunggal yang ditawarkan Soeharto saat itu akan memperkokoh sekulerisme di Indonesia, sekaligus mengurangi potensi ancaman ideologis dari kekuatan kelompok Islam.
Walhasil bisa dikatakan kebijakan Soeharto saat memerintah yang kemudian menimbulkan banyak masalah baik secara politik maupun ekonomi, tidak bisa dilepaskan dari campur tangan AS saat itu. Kondisi yang sama tentu tidak diharapkan terjadi dalam pemerintahan saat ini karena akan menimbulkan biaya (cost) politik maupun ekonomi yang besar.
Pelajaran dari rezim Soeharto, sikap tunduk pada konsepsi ideologi dan kebijakan negara Barat, secara politik telah menimbulkan berbagai pelanggaran kemanusiaan atas nama ideologi negara yang dimanipulasi. Secara ekonomi , tunduk pada design ekonomi asing yang pro liberal akan berbuah pada krisis ekonomi, kebijakan yang memberatkan rakyat, dan perampokan terhadap kekayaan alam Indonesia atas nama investasi . Kita khawatir, sama seperti yang terjadi dengan rezim Soeharto, kemudian berakhir pada kerusuhan sosial. (Farid Wadjdi, Lajnah Siyasiah HTI)