Entah sengaja atau tidak, tidak lama setelah Soeharto meninggal, dokumen yang berisi hubungan AS dan rezim Soeharto dipublikasikan di Amerika Serikat. Dokumen yang dipublikasi oleh Arsip Keamanan Nasional atau The National Security Archives menggambarkan bagaimana pemerintah AS tidak berbuat banyak terhadap pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto di saat memerintah di Indonesia. Kritik keras Amerika Serikat terhadap Soeharto hanya muncul tahun 1998, ketika Indonesia diguncang kerusuhan akibat krisis moneter (www.dw-world.de/dw/article/)

Dalam dokumen itu terdapat transkripsi pertemuan Soeharto dengan Presiden AS Richard Nixon, Gerald Ford dan pejabat tinggi AS seperti Henry Kissingger yang saat itu menjadi menlu AS. Terungkap pula, surat Menlu AS kepada Nixon menyatakan AS tidak memiliki masalah dengan Indonesia. Ketika bertemu dengan Nixon dan Kissinger pada 26 mei 1970, terdapat tanya jawab yang antara lain berdapat laporar Soeharto bahwa dia telah menumpas pendukung komunis, melakukan indoktrinasi paham Orde Baru. Nixon kemudian memuji Soeharto sebagai pemimpin salah satu Negara demokrasi terbesar di dunia. Saat bertemu dengan Soeharto, Presiden AS saat itu Gerald Ford juga tidak memberikan tanggapan ketika Soeharto memaparkan kebijakannya tentang Timor Timur.

Dokumen ini menunjukan adanya keterhubungan antara pemerintahan Soeharto dengan AS. Selama ini, jarang sekali diungkap bahwa kebijakan-kebijakan yang diambil Soeharto bukanlah semata-mata karena faktor pribadi sebagai pemimpin. Akan tetapi ada dukungan, pengaruh bahkan campur tangan yang kuat dari AS untuk mendesain system politik dan ekonomi Indonesia. Hal itu tampak dari berbagai kebijakan yang diambil Soeharto saat itu yang sangat kapitalistik dalam berbagai bidang baik ekonomi, politik, agama maupun budaya.Hal ini bisa dimaklumi, mengingat sejak awal pembentukan pemerintahan yang dikenal sebagai rezim orde Baru campur tangan AS sangat kuat. Konstelasi politik saat itu menggambarkan bagaimana AS harus mencari ‘sekutu’ baru di Indonesia, setelah Soekarno dianggap semakin ke kiri (pro Komunis) dan memihak PKI.

Soekarno kemudian tumbang setelah terjadinya peristiwa yang dikenal dengan pemberontakan G30s PKI. Soeharto pun muncul sebagai pemimpin baru Indonesia lewat -yang oleh banyak pihak- disebut konspirasi politik tingkat tinggi. Berbagai dokumen rahasia AS yang kemudian dipublikasikan secara terbuka menggambarkan campur tangan AS. Raplh Mc Gehee, seorang pejabat operasi senior CIA menggambarkan kondisi teror saaat Soeharto mengambil alih Indonesia tahun 60-an mirip dengan model operasi CIA di Chili, saat AS mendukung kudeta di Negara Amerika Latin itu. Menurutnya, Kedubes AS di Jakarta memberikan daftar orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI yang kemudian menjadi target untuk ditahan atau dibunuh.

Jatuhnya Soekarno merupakan kondisi sangat kondusif bagi AS untuk bermain secara langsung dalam politik dan ekonomi Indonesia. David Ramson dalam tulisannya Mafia Barkeley dan Pembunuhan Massal di Indonesia, mengutip pernyataan seorang pejabat Bank Dunia tentang politik di Indonesia : “Kejadian di Indonesia pada tahun 1965 merupakan kejadian yang terbaik bagi kepentingan Uncle Sam sejak perang Dunia II”. Hal senada diungkap oleh Presiden Richard Nixon pada tahun 1967 yang mengatakan : “ Indonesia adalah ‘hadiah terbesar’ (the greatest prize) di wilayah Asia Tenggara”.

Kebijakan Pro Liberal

Peran AS membangun rezim Soeharto sangat menonjol dalam bidang ekonomi. AS membantu membentuk Tim Ekonomi yang dikenal dengan Mafia

Berkeley. Tim inilah yang kemudian merancang kebijakan ekonomi

Indonesia yang kapitalistik, liberal dan sesuai dengan kepentingan AS. Tim istimewa ini ditempatkan dalam pemerintahan baru yang menguasai perekonomian. Dan hal itu kemudian terbukti, pada juni 1969, Soeharto bertemu dengan tim ini yang kemudian menjadi menteri dalam kabinet pembangunan.

Dalam kabinet ini hampir sebagian besar pejabat ekonominya adalah hasil didikan AS terutama dari Mafia Berkeley . Terdapat Widjojo Nitisastro (alumnus Berkeley) sebagai ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Emil Salim (alumnus Berkeley)sebagai wakilnya, Subroto sebagai dirjen pemasaran dan perdagangan (alumnus Harvard), menteri keuangan Ali Wardhana (Berkeley), ketua Penanaman Modal Asing Moh. Sadli (MIT).

Kebijakan ekonomi pro liberal sejak saat itu diterapkan. Ditandai dengan kebijakan yang pro pasar, mengundang investasi asing, meminjam hutang luar negeri. Dampaknya sangat luar biasa. Kebijakan investasi asing ditandai dengan penjualan kekayaan alam Indonesia kepada perusahaan asing sebagai kompensasi dari bantuan hutang luar negeri Indonesia. Sementara hutang luar negeri kemudian menjadi alat tekanan negara donor yang semakin menjerat Indonesia. Akibat jebakan hutang ini Indonesiapun harus patuh terhadap instruksi IMF dan Bank Dunia, yang alih-alih menyelesaikan krisis ekonomi, tapi malah membuat krisis ekonomi makin parah.

Jhon Pilger dalam The New Rulers of World menggambarkan bagaimana kekayaan alam Indonesia dibagi-bagi bagaikan rampasan perang oleh perusahaan asing pasca jatuhnya Soekarno. Menurut Jhon Pilger, pada November 1967 The Time Life Corporation mengadakan konferensi istimewa di Jenewa Swiss selama tiga hari. Agendanya, fokus pada bagaimana strategi mengambil alih Indonesia. Pesertanya, pengusaha kapitalis paling pengaruh di dunia antara lain David Rockefeller. Tidak ketinggalan, Perusahaan multinasional raksasa (terutama minyak dan gas) dan bank internasional pun hadir dalam konferensi itu.

Sementara di seberang meja, hadir ekonom-ekonom The Berkeley Mafia yang menjual Indonesia dengan tawaran tenaga buruh murah, cadangan dan sumber alam yang melimpah dan pasar yang besar. Pada hari kedua, masih menurut Pilger, kekayaan alam Indonesia pun dibagi-bagi. Freeport mendapat emas di Papua Barat, sebuah perusahaan konsorsium Eropa mendapat Nikel di Papua Barat, perusahaan lain mendapat hutan tropis.

Tidak jauh beda dengan ekonomi, kebijakan politik Indonesia di masa rezim Soeharto sulit dikatakan murni hasil pikiran Soeharto. Format politik saat itu sangat dipengaruhi oleh Ideologi Kapitalisme. Sejak era Soeharto kebijakan politik yang sekuler samakin menguat. Dalam konteks ini, bisa dimengerti kenapa Soeharto tampak bersikap sangat keras terhadap kelompok-kelompok Islam yang ingin memperjuangkan syariah Islam atau negera Islam. Disamping , kekuatan Islam dianggap sebagai ancaman politiknya secara pribadi, kekhawatiran kelompok Islam merubah asas sekuler dari negara juga menjadi pertimbangan. Sama seperti isu perang melawan terorisme sekarang, isu membendung kelompok radikal merupakan isu yang layak dijual untuk mendapat kepentingan negara-negara Barat.

Bagi AS dan negara-negara Barat lainnya, kebijakan Soeharto yang mengokohkan sekulerisme di Indonesia dengan membendung kekuatan kelompok Islam tentu akan mengamankan posisi ideologis Barat. Sejak dulu hingga saat ini, ada kekhawatiran yang besar dari negera-negara Barat, bahwa Indonesia dengan jumlah penduduk yang mayoritas muslim akan menjadi negara yang menegakkan syariah Islam secara formal.

Bisa dimengerti kenapa AS tidak terlampau mempersoalkan kebijakan Seoharto yang cendrung represif terhadap lawan politiknya. Dalam kasus asas tunggal yang banyak misalkan, Soehrato kemudian menjerat lawan politiknya dengan alasan menentang ideologi negara. Tindak represif pun terjadi dibanyak tempat. Sebab, asas tunggal yang ditawarkan Soeharto saat itu akan memperkokoh sekulerisme di Indonesia, sekaligus mengurangi potensi ancaman ideologis dari kekuatan kelompok Islam.

Walhasil bisa dikatakan kebijakan Soeharto saat memerintah yang kemudian menimbulkan banyak masalah baik secara politik maupun ekonomi, tidak bisa dilepaskan dari campur tangan AS saat itu. Kondisi yang sama tentu tidak diharapkan terjadi dalam pemerintahan saat ini karena akan menimbulkan biaya (cost) politik maupun ekonomi yang besar.

Pelajaran dari rezim Soeharto, sikap tunduk pada konsepsi ideologi dan kebijakan negara Barat, secara politik telah menimbulkan berbagai pelanggaran kemanusiaan atas nama ideologi negara yang dimanipulasi. Secara ekonomi , tunduk pada design ekonomi asing yang pro liberal akan berbuah pada krisis ekonomi, kebijakan yang memberatkan rakyat, dan perampokan terhadap kekayaan alam Indonesia atas nama investasi . Kita khawatir, sama seperti yang terjadi dengan rezim Soeharto, kemudian berakhir pada kerusuhan sosial. (Farid Wadjdi, Lajnah Siyasiah HTI)